Naga Sakti dan Sate Kacang di Dosan

Bagaimana tingkatkan ekonomi masyarakat tanpa rusak hutan? Bgaimana mengolah sawit dengan lestari?

Aroma Gagal REDD+ Riau

REDD+ memasuki fase implementasi tahun 2013. Bagaimana posisi masyarakat sekitar hutan? Siapa penikmat manfaat program ini?

Seutas Cerita di Makkasar.

Sebuah catatan perjalanan.

Bunga Bangsa di Tengah Srikandi Berbari

Bagaimana kisah pemberdayaan perempuan desa?

Senin, 06 Mei 2013

Naga Sakti dan Sate Kacang di Dosan


Bagaimana tingkatkan ekonomi masyarakat tanpa rusak hutan?  Bgaimana mengolah sawit dengan lestari? Puput Jumantirawan meliput kisah Perkumpulan Elang menginisiasi desa Dosan menjadi desa lestari.

SATU SIANG
di bulan Februari aku berkunjung ke desa Dosan. Perjalanan sekitar empat  jam dari Pekanbaru. Mobil melaju lewati jalan beraspal  yang lurus, kiri kanannya pipa minyak. Lalu mobil berkesong ke kiri. Jalan tak lagi aspal. Hanya tanah merah yang disiram kerikil. “Desa Dosan sudah dekat,” kata Janes. Janes menemani perjalanan siang itu. Dia pendamping masyarakat –community organizer—untuk Program Penerapan Best Management Practice (BMP) menuju petani dan desa mandiri  yang digagas Perkumpulan Elang

Mendekati desa jalan diapit kebun sawit. Mobil terus melaju. “Kita uda sampai desa Dosan,” kata janes. Sebelah kiri jalan tampak bangunan dari papan dicat hijau. Gak terlalu besar. Ukurannya sekitar 6x6 meter. Dari pelang yang terpampang segera aku tau, ternyata itu kantor Koperasi Bunga Tanjung. Koperasi yang kelola ladang sawit seluas 723 Hektare (Ha) milik warga desa Dosan. Ada sekira 260 Kepala Keluarga yang memilikinya, masing-masing dapat 3 Ha.

Mobil berjalan semakin pelan. Dan mendadak berhenti di depan rumah berwarna biru. Di halaman rumah itu tampak bibit sawit berjejer rapi. Kelihatannya sudah siap tanam. “Ayo turun, ini rumah pengurus koperasi,” kata Janes.

Seorang wanita menyambut kami.“Piye kabare?,”tanya Janes pakai bahasa jawa. “Kabare ya sehat,” jawab wanita itu sambil jalan ke arah dapur. Tak lama seorang pria keluar. “halo, apa kabar?” sapanya ramah. Semua orang disalami. “Dahlan,” dia perkenalkan diri sambil jabat tangan.

Dahlan sekarang menjabat Manager Koperasi Bunga Tanjung. Dia yang urus masalah produksi sawit di koperasi. Dahlan cerita awal pembangunan kebun sawit. Mula program tahun 2003. Saat itu Pemerintah Daerah (Pemda) Siak ada program membangun kebun sawit 3.500 Ha. Lahan seluas itu untuk 7 desa di dua kecamatan; Kecamatan Pusako dan Sungai Apit. Di Sungai Apit hanya  dicadangkan untuk satu desa. Desa Teluk Masjid. Enam desa lainnya di Kecamatan Pusako yakni; Desa Perincit, Dusun Pusaka, Bebadaran, Benayah, Sungai Limau dan Desa Dosan. Ini semua masuk program Siak 1—program ketahanan pangan yang digalakan Pemda Siak.

Lahan tidur di desa Dosan dipilih jadi lokasi pelaksanaan program. “Masyarakat dulu suka berkebun pindah-pindah. Jadi banyak lahan yang jadi belukar.Na,  belukar inilah yang dijadikan program penanaman kelapa sawit,” aku Dahlan.

Dalam  proses pembukaan kebun di Desa Dosan tenaga kerjanya berasal dari masyarakat. Mereka diupah. Imas—tumbang  dibayar 900 ribu per Ha. Tanamnya seribu perbatang sawit, ada yang 500 tergantung jauh dekatnya langsir bibit. Pemeliharaannya dengan sistem Buruh Harian Lepas. Pekerjanya juga masyarakat.

Setelah sawit ditanam dan mulai tumbuh ladang diserahkan pada Koperasi Bunga Tanjung dengan kondisi kurang terawat. “Gulmanya lebih tinggi dari batang sawit. Kurang terawatlah, setengah hancur,” tegas Dahlan lagi

Masyarakat  tidak dengan Cuma-Cuma mendapatkan ladang tersebut. “Awalnya masyarakat diharuskan mencicil tapi sampai sekarang masyarakat belum lagi mulai mencicil. Bukan tidak tapi—belum. Karena perjanjian awal kita harus bayar kreditnya,” terangnya.  

Dalam pelaksanaan program ada tiga pihak yang terlibat membangun kebun sawit tersebut; PT Persi sebagai pemodal mewakili Pemda, PTPN V sebagai tenaga teknis  dan PT Siak Prima Nusantara (SPN) sebagai konsultan. Tadinya PT SPN  diharapkan mampu beri pemahaman soal sawit pada masyarakat. “Ternyata hanya ambil fee saja.Sementara waktu itu yang banyak bergerak beri pemahaman justru  Elang, Jikalahari juga,”  terang Dahlan. 

“Jujur aja kami dapat ilmu soal sawit itu dari Elang,” lanjut Dahlan

Elang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anggota Jaringan kerja Penyelamat hutan Riau (Jikalahari). Elang konsen pada penyelamatan sumber daya alam menuju keberlanjutan dan dorong masyarakat jadi aktor utamanya. Di desa Dosan awalnya Elang advokasi soal Daerah Aliran Sungai (DAS), tapi kemudian,  Elang melihat masyarakat butuh pemahaman soal sawit. Sejak 2009 Elang perkenalkan  Best Management Practice —metode untuk meningkatkan produksi sawit secara lestari. Satu tahun setelah itu,program ini dibantu oleh TFCA.

“Desa Dosan itu program kita ingin menginterfensi bagaimana mengurangi dampak ancaman kerusakan rawa gambut Semenanjung Kampar dari petani sawit. Salah satu ancaman kerusakan itu—kan perluasan perkebunan oleh masyarakat,” papar Riko Direktur Elang.

Elang lanjutnya berusaha bagaimana hutan alam tak lagi digunakan untuk membuka kebun. Caranya menerapkan BMP . Selanjutnya mendorong Koperasi dapat sertifikasi dari Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO).

RSPO merupakan suatu konferensi para stakesholder untuk menciptakan perkebunan kelapa sawit yang lestari. Kemunculan RSPO dilatarbelakangi oleh banyaknya pembukaan lahan untuk perkebunan yang dilakukan dengan tidak bertanggung jawab. Seperti membakar, merusak hutan konservasi dan juga pemeliharaan perkebunan yang kurang tepat. Misalnya penyemprotan di pinggir parit yang dapat meracuni keanekaragaman hayati, juga penggunaan pestisida berbahaya.

Lantas pada 8 April 2004 RSPO terdaftar di Zurich, Swiss sebagai asosiasi yang beranggotakan tujuh pilar pemangku kepentingan;produsen kelapa sawit, pengolah minyak sawit, pedagang, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, juga LSM lingkungan hidup.

Tujuan utama RSPO sendiri mempromosikan produksi dan penggunaan minyak sawit yang diolah secara lestari.

“Kenapa kita dorong sertifikasi? Ini alat ukur bagaiamana jaminan petani untuk tidak lagi buka hutan. Jika terbukti petani buka hutan sertifikasi akan dicabut,” jelas Riko.

Logikanya, lanjut Riko, perekonomian masyarakat ditingkatkan dengan peningkatan produksi sawitnya. Kalau produksi sudah tinggi masyarakat gak perlu lagi perluas lahan sawit. Kebutuhan ekonomi sudah bisa terpenuhi.

“Upaya ini sedikit banyaknya akan mencegah perambahan hutan. Paling tidak sekarang kita sudah merubah mainset, pengetahuan petani. Tinggal ke depannya memperkuat daya tawar pada industry. Sedang manfaat yang dirasakan bagi masyarakat sekarang produktifitas membaik,” ujar Riko

Gagasan Elang ternyata disambut baik oleh masyarakat. Ada komitmen menjaga hutan dan menjalankan metode pengolahan sawit lestari dituangkan dalam regulasi. Ada Setandar Operasional Prosedural (SOP) tentang pengolahan sawit diterbitkan oleh Koperasi. Tujuannya meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja koperasi dan anggotanya. Sehingga ekonomi dan kapasitas anggota meningkat.

Di SOP di atur segala teknis soal pengolahan kebun. Mulai dari sistem administrasi, perawatan kebun, ketenagakerjaan hingga soal pemanenan. SOP juga mengatur  tata cara pembersihan kebun harus dilakukan dengan manual—tanpa menggunakan bahan kimia.

Dengan adanya SOP ini juga menjelaskan  komitmen masyarakat  untuk tidak memperluas areal kebun yang diolah Koperasi—terlebih lagi kalau itu kawasan hutan. 

“Selamanya luas kebun koperasi hanya 723 hektare, gak ada lagi penambahan,” terang Dahlan.

“Bibit sawit di depan itu ditanam dimana?” saya coba bertanya sambil menyeruput es teh yang disuguhkan Nunung kemenakan Dahlan.

“Bibit depan rumah itu punya pak Amin, dia mau tanam di kebunnya,” jawabnya.

Ternyata disini hanya dibolehkan membuka ladang bagi tanah yang sudah dikuasi secara peribadi. Dan jelas tak boleh mengusik hutan sekitar.

Selain SOP, pemerintah desa juga sudah buat Peraturan Desa (Perdes) tentang perlindungan Hutan Desa Naga Sakti. Disebut Hutan Desa Naga Sakti lantaran di hutan itu terdapat danau bernama Naga Sakti.  Seluruh luas Hutan yang mereka lindungi itu ada 400 Ha.  Kondisinya juga sudah tak lagi bagus lantaran kayunya sudah dirambah sebelum ada komitmen.

“Nantinya ada sistem tanam ulang di hutan ini,” terang Janes. Kehadiran Perdes memperkuat komitmen masyarakat untuk melestarikan kawasan hutan.

Keseririusan untuk mendapatkan sertifikasi RSPO pun dibuktikan dengan kerja nyata masyarakat. Mereka menerapkan SOP dan Perdes dengan sungguhan. “Sekarang satu persatu prinsip untuk mendapatkan RSPO sudash dilakukan, misalnya, ramah lingkungan.Kita tidak pakai pestisida.Kemudian water manageman, supaya tanah tidak kering,” jelas Dahlan.

Manfaat usai terapkan metode ini bisa dirasakan masyarakat sekarang. “Dulu per-hektare hanya lima ratus kilo sekarang sudah satu ton. Produksi meningkat seratus persen,” aku Dahlan
Peningkatan produksi tersebut ditunjang dengan manageman produksi yang baik. Salah satunya sistem pemupukan. Dengan panduan yang dibuat  sekarang masyarakat memperaktekan jarak sebar pupuk satu meter dari batang. Selain itu intensitas pemupukan sudah diatur. Setahun tiga kali. Dibagi atas tiga periode pemupukan. Periode pertama pakai pupuk Dolumit, kedua Urea dan terakhir KCL. Dengan banyak pupuk— 100 kg per hektar. 

Sistem pengairan juga sudah berbenah. Dulu sebelum pakai metode ini, batang sawit banyak yang kering karena airnya gak sesuai. “Setelah pengairannya diatur, pakai kanal-kanal yang dibendung  pertumbuhan sawit lebih bagus,” terang Dahlan.

Saat pemanenan juga tak sembarangan. Dulu banyak buah sawit yang ditolak pabrik lantaran petani panen buah mengkal. Sekarang mereka hanya panen buah yang sudah turun berondolan minimal empat butir.

“Bagaimana dengan peningkatan produksinya?” saya kembali bertanya

“Nah, soal angka-angkanya beliau ini yang paham,” jawab Dahlan.

Secara kebetulan—sebelum pertanyaan itu terjawab— datang Juprijal yang juga pengurus Koperasi. Dia Sekretaris Koperasi.

“Metode yang diterapkan itu sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan produksi.  Sebelum ada metode ini produksi seluruhnya hanya 400 ton sekarang 700 ton perbulan,” jawab Juprijal.

“Oh iya kebetulan sekarang masyarakat gajian, mereka bagi-bagi uangnya di kebun. Apa perlu kita ke sana?” Juprijal menawarkan.

“Kebetulan kita ke sana aja sekalian lihat kebun,” sambut Janes.

Matahari di luar semakin condong hendak tenggelam. Jam sudah menunjukan pukul 16. Kami segera menuju kebun yang dimaksud. Letaknya tak jauh dari pemukiman. Ada ladang karet berderet sebelum memasuki hamparan kebun sawit. Batang sawit di tepi jalan terlihat besar, buahnya penuhi selah pelepah. Kelilingi dahan sawit. Terlihat kalau perawatannya cukup baik. Gulma yang tumbuh pun tak terlalu tinggi juga tidak dipotong bersih. Memang harusnya begitu. Kalau terlalu bersih justru tak baik buat pertumbuhan sawit.Tampak kanal-kanal dipenuhi air. Tapi jalan tak ikut becek.

Di sebuah gubuk di tengah kebun tampak belasan orang berkerumun. Mereka adalah anggota Kelompok Tani (KT) Cinta Damai. Anggotanya berjumlah 19 orang. Luas arealnya 59 Ha. Seluruhnya ada 14 KT di koperasi Bunga Tanjung. Jumlah anggotanya bervariasi tergantung luas lahannya. KT inilah yang mengelolah areal kebun sawit secara teknis. Diurus oleh empat orang. Termasuk satu orang koordinator lapangan.

Seorang diantara kerumunan itu mendekati kami. Dia adalah Firdaus ketua KT Cinta Damai yang juga Kepala Desa Dosan. Orangnya masih mudah, usianya baru 35 tahun. Dengan sawit 3 Ha miliknya, dia tetap bisa hidupi keluarganya.

“Emang berapa anaknya pak?” saya bertanya

“Itu pertanyaan yang sulit saya jawab, bukan apa-apa gak enak saya jawabnya. Anak saya tujuh orang,” jawabnya disambut tawa bersama.

Menurut Firdaus pembagian gajih sengaja dilakukan di kebun, tujuannya untuk kumpulkan warga musyawarah sekaligus lihat kondisi kebun. “Setiap gajian selalu kami laksanakan di kebun,” jelasnya.

Hasil panen kali ini sedikit menurun dari bulan lalu. Cinta Damai dapat 90 ton. Sebelumnya 120 ton. “Ini lagi trek buah sawit,” katanya. Bulan ini anggota KT Cinta Damai dapat gajih 2,3 juta. Setelah dipotong jasa koperasi, upah panen juga biaya pupuk.

“Apakah tidak tergiur membuka kebun lagi, tambah sekarangkan lagi trek?” saya bertanya

“Kita sepakat untuk maksimalkan hasil. Untuk apa kebun luas kalau hasilnya sedikit,” jawab Firdaus

Dari seberang jalan ada masyarakat yang mendekati kami. Dari jauh sudah senyum-senyum. Entah lantaran memang ramah atau lagi senang baru dapat uang. Dia Komi Sahar anggota KT Cinta Damai.   “Sekarang buah terek tapi ini sudah cukuplah untuk biaya lima orang anak,” kata Komi Sahar.

Hari semakin sore, satu persatu anggota kelompok mulai pulang. Kami juga bersiap untuk pulang. “Jangan pulang dulu, ngopi-ngopi dulu. Nikmati hasil panen kami,” pinta Firdaus. Seolah tak berdaya menolak tawaran itu, akhirnya kami nongkrong di warung depan simpang tiga. Tak jauh dari kebun. Sore itu Firdaus teraktir kami. Pakai hasil panennya. Sate kacang dan minuman dingin kami santap bersama.

“Sedap juga ya hasil sawitnya?” celetuk saya

 “Iyalah, lebih maniskan?” sambut Firdaus.

Usai acara santap bersama kami pamit pulang. Sementara proses mendapatkan sertifikasi RSPO di desa Dosan terus berlanjut. Sekarang sedang diupayakan koperasi Bunga Tanjung jadi anggota RSPO.  Kalau sudah jadi anggota langkah selanjutnya adalah audit kelayakan. Untuk audit TFCA sudah siapkan dana sekira 300 juta. “Tapi dana ini belum bisa digunakan, karena proses audit belum berlangsung,” papar Janes.

Apa yang sudah dilakukan di desa Dosan tak semata soal mensejahtrakan masyarakat dan melindungi hutan sekitar. Tapi, juga menjadikan desa percontohan pengolahan sawit mandiri dan lestari. Bahkan sampai menyedot perhatian Menteri Pertanian Suswono. Dia berkunjung ke desa Dosan bulan januari lalu.

“Saya senang dengan laporan ini. Ini adalah salah satu contoh bagus untuk menjawab tuduhan bahwa industri sawit di Indonesia semuanya buruk, seperti yang dituduhkan beberapa negara importir”, ujar Suswono saat kunjungan.