Naga Sakti dan Sate Kacang di Dosan

Bagaimana tingkatkan ekonomi masyarakat tanpa rusak hutan? Bgaimana mengolah sawit dengan lestari?

Aroma Gagal REDD+ Riau

REDD+ memasuki fase implementasi tahun 2013. Bagaimana posisi masyarakat sekitar hutan? Siapa penikmat manfaat program ini?

Seutas Cerita di Makkasar.

Sebuah catatan perjalanan.

Bunga Bangsa di Tengah Srikandi Berbari

Bagaimana kisah pemberdayaan perempuan desa?

Minggu, 15 Desember 2013

Jejak Power Renger di Hutan Riau


    Tulisan ini saya buat untuk majalah Seribu Akar tahun lalu. Sebuah media alternatif yang fokus pada isu lingkukangan. Saaat itu Jikalahari sudah berusia 10 tahun. Tulisan ini mengurai perjalanan Jikalahari dan NGO di Riau yang terus konsisten menjaga hutan. Bagaimana jejaknya?

 PADA TANGGAL 25-26 FEBRUARI 2002 Non Govermant Organisation (NGO) di Riau laksanakan seminar dan lokakarya. Bertajuk ‘Hutan Riau Kini dan Masa Mendatang’. Hadir perwakilan 29 lembaga, terdiri dari 22 NGO dan 7 Lembaga Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Hadir pula Budayawan Riau UU Hamidy. Mereka bahas persoalan hutan Riau dari berbagai perspektif.

Seminar dan lokakarya itu di rancang untuk evaluasi upaya penyelamatan hutan Riau. Dipaparkan data tutupan hutan alam Riau dari tahun ke tahun. Ternyata penurunan luas hutan alam di Riau terjadi secara drastis. Penurunan tertinggi antara tahun 1999 sampai 2000an, yaitu sekitar 840 ribu hektar. Tutupan Hutan Riau yang tersisa tidak banyak lagi.

Melihat kondisi hutan Riau saat itu, muncul semangat bersama diantara banyak NGO dan Mapala yang hadir. “Kita perlu bersinergi untuk selamatkan hutan Riau,” kata Zulfahmi, waktu itu ia sebagai peserta utusan dari Hakiki.

Mereka bahas strategi penyelamatan tutupan hutan Riau yang tersisa. Ada Vision Map, memetakan target dan kerja yang hendak dilakukan. Ada Bukit Tiga Puluh landskep. Menggambarkan bagaimana menghubungkan hutan yang terintegrasi.

Mereka juga merancang koridor biologis. Bagaimana menghubungkan hutan yang satu dengan hutan lainnya. Menghubungkan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Suaka Margasatwa Krumutan, Senepis, Giam Siak Kecil, Hutan Lindung Bukit Rimbang Bukit Baling, Tesso Nillo. Konsep inilah yang mereka sebut koridor biologis.

Pada pertemuan itu Word Wild Fund (WWF) mendorong buat jaringan NGO lokal untuk kerja selamatkan hutan Tesso Nilo. “Buat jaringan sebenarnya untuk bantu visi misinya WWF di Tesso Nilo, ternyata wacana berkembang,” kata Purwo. Banyak NGO lain tidak setuju kalau hanya bekerja untuk Tesso Nilo. Mereka memandang yang harus diselamatkan bukan hanya Tesso Nilo melainkan seluruh tutupan hutan Riau yang tersisa.

Melalui perdebatan cukup panjang, WWF akhirnya mau mendengar visi dan misi NGO lainnya. Mereka sepakat buat jaringan bukan hanya untuk Tesso Nilo. Tapi untuk selamatkan Tutupan Hutan Riau yang tersisa.

Hari kedua, Forum sepakati buat jaringan dengan nama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau disingkat JKPMHR. Nantinya nama ini akan berubah jadi Jikalahari.

Perdebetan kembali terjadi, saat menentukan bentuk dan struktur organisasi. Bagaimana sistem yang akan dibangun. Belajar dari jaringan yang pernah ada, Mereka tidak mau jaringan berdiri sendiri, lantas lembaga yang gabung akan mati. Intinya mereka mau jaringan hanya sebagai sekretariat.

Forum juga sepakati struktur jaringan pakai Pimpinan Kolektif diambil dari lembaga anggota. Fungsinya untuk jalankan jaringan. Lalu dipilih lima orang Pimpinan Kolektif. Pemilihannya dengan cara demokrasi. Pakai Foting. Samsuardi dari WWF tulis di papan tulis. Ada 13 bakal calon Pimpinan Kolektif. Terpilih Purwo Susanto dari WWF, Kecang dari Riau Mandiri, Prio Anggoro dari Yayasan Siklus, Ahmad Zazali dari Kaliptra Sumatera dan Zulfahmi dari Hakiki.

Mereka ditugaskan membenahi jaringan, mencari akses dana, menyiapkan statuta peraturan jaringan.

Di tetapkanlah hari itu, 26 Februari 2002 sebagai hari lahirnya Jikalahari. Purwo Susanto bilang ‘Jikalahari lahir pada waktu dan tempat yang tepat,’.

SEBELUMNYA, Critical Ecosistem Partnership Fund( CEPF) akan masuk ke Riau melalui WWF Riau. Mereka ingin selamatkan hutan Tesso Nillo dengan program Riau Said Tesso Nilo. Memperjuangkan Tesso Nilo menjadi Taman Nasional dan wilayah konservasi. Program ini akan mendapat suport dana dari CEPF.

CEPF disebut juga Dana Kemitraan Ekosistem Kritis. Merupakan bentuk kemitraan antara enam lembaga donor untuk lingkungan. Yaitu Conservation International, Global Invironment Facility, Pemerintah Jepang, Jhon D and Catherine T.MacArthur Foundation serta World Bank.

Tujuan utama CEPF, mewujudkan wilayah konservasi di areal penting yang kaya akan keanekaragaman hayati. Mereka juga mendorong kelompok masyarakat madani, NGO dan Swasta terlibat dalam konservasi keragaman hayati. Membangun aliansi antara kelompok-kelompok untuk berpartisipasi mendukung konservasi.

Sebab itu CEPF ingin ketemu dengan NGO Riau untuk buat jaringan local. WWF fasilitasi undang NGO. Sampaikan CEPF ke Riau dan kerja untuk Tesso Nillo. WWF punya dua misi atas terbentuknya sebuah jaringan. Pertama bagaimana perjuangkan Suaka Margasatwa Tesso Nillo jadi Taman Nasional. Yang kedua bagaimana selesaikan konflik gajah dengan manusia.

Dari diskusi awal perdebatan sudah muncul. Terkait hutan mana yang hendak di perjuangkan. Banyak NGO pandang yang harus diselamatkan bukan hanya Tesso Nilo. Tapi, banyak lagi yang lain.

Untuk satukan pandangan dilaksanakan beberapa kali pertemuan. Mereka diskusi. Pernah juga buat Workshop di Hotel Raudah dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan Riau. Dari pertemuan-pertemuan itu belum juga ada kesamaan pandangan diantara NGO. Baik dalam hal pembentukan jaringan maupun hutan mana yang hendak diperjuangkan. mereka sepakat duduk bersama dalam sebuah forum.

Forum itu dikemas dalam bentuk seminar dan lokakarya yang dilaksanak di Hotel Dian Graha Pada 25-26 Februari 2002. WWF berperan aktif memfasilitasi NGO Riau hadir di acara itu. Selanjutnya, forum hasilkan keputusan-keputusan yang berdampak pada penyelaamatan hutan Riau. Mereka sepakat bentuk Jaringan, bekerja selamatkan tutupan hutan Riau yang tersisa. Lalu untuk jalankan jaringan dipilih lima Pimpinana Kolektif dari lembaga anggota.

AWAL TERBENTUKNYA, Pimpinan Kolektif mulai buat rancangan statuta. Prio ajukan diri membuat draftnya, untuk dibahas oleh seluruh Pimpinan Kolektif. Dalam draft statuta, Prio usulkan nama Jikala Hari pakai spasi. Purwo bilang ‘Biar lebih enak diucapkan gabungkan aja Jikalahari gak pakai spasi,’. Mereka memasukan nama Jikalahari bersama dua nama lainnya di draft statuta.

Pembahasan dan pengesahan Statuta dilaksanakan bulan April 2002 di Bapelkes, Panam. Prio pimpin sidang. Satu persatu poin dibahas. Saat bahas nama, Forum sepakat Jikalahari sebagai nama jaringan ini, menggantikan nama JKPMHR.

“Aku mau nama Jikalahari jadi kosa kata baru dalam kamus Bahasa Indonesia,yang kira-kira artinya penyelamat hutan,” kata Prio. Prio juga membuat logo Jikalahari.

Pada pembahasan statuta nilai-nilai sudah mulai dibangun. Jikalahari menjunjung nilai keadilan, demokratis, independen, transparansi juga menjunjung tinggi HAM. Keberpihakan Jikalahari pada masyarakat marjinal dan suku asli Riau. Jikalahari juga tidak boleh bekerja dengan dana dari hutang luar negeri dan pihak yang merusak lingkungan.

Zulfahmi cerita, saat pembahasan dan pengesahan Statuta berlangsung, sampai ada lempar-lemparan gelas. “Kalau gak salah berkaitan dengan sumber-sumber pendanaan,” katanya. Itu bagian dari dinamika yang muncul.

Riko Kurniawan Direktur Yayasan Perkumpulan Elang bercerita, posisi Mapala saat itu dilematis. Dihadapkan pada kesepakatan tidak boleh terima dana dari perusahaan perusak lingkungan. ”Misalnya bikin kegiatan biasa ajukan dana ke RAPP. Ketika sudah ada kesepakatan, tidak boleh ajukan dana ke perusahaan perusak lingkungan. Ini kita bicarakan.” Kata Riko.

Sedang untuk mengakomodir ‘ide gila’ anggota, istilah di statuta dibuat aneh-aneh. Misalnya Rapat Besar Anggota disingkat Rasa. Rapat Kelompok Kerja Khusus disingkat Rakkus. Rapat Berkala Anggota disingkat Raba.

Kemudian dari lima orang Pimpinan Kolektif dipilih satu orang dinamisator. Fungsinya untuk mengomunikasikan segala kegiatan kepada Pimpinan Kolektif lainnya. Zulfahmi jadi dinamisator. Peran Pimpinan Kolektif masa itu sebagai eksekutif juga legislatif. Tidak ada yang kontrol kerjanya.

Saat pembahasan Statuta itu, Pimpinan Kolektif di mandatkan untuk persiapkan sekretariatan dan selenggarakan Rasa yang pertama.

Rasa pertama dilaksanakan bulan Februari 2003 di sekretariat pertama Jikalahari, di Gobah. Dalam perjalanannya terpikir harus ada orang yang fokus jalankan roda organisasi. Karena lima utusan itu dari lembaga, khawatir tidak fokus. Selain itu harus ada yang kontrol kerja orang-orang tersebut.

TERJADI PENGUATAN struktur Jikalahari. Pada Rasa pertama,Pimpinan Kolektif berubah jadi Dewan Presidium. Yang berfungsi sebagai pengawas, representasi dari anggota Jikalahari. Untuk menjalankan organisasi pakai Koordinator yang bekerja sebagai eksekutif. Zulfahmi jadi koordinator pertama dengan masa jabatan dua tahunan.

Dewan Presidium di tugaskan untuk daftarkan jikalahari ke Pengadilan Negeri. Jikalahari terdaftar di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 21 Mei 2004 dicatat oleh Notaris Rahmat Nauli Siregar No. 05

Tahun 2004, Jikalahari juga lakukan perkuatan manageman untuk lembaga anggota. Karena lembaga butuh permaikan manageman. Buat pelatihan dengan Lembaga Konsultan Nandiline. Artinya jalur nandila. Fadil Nandila jadi konsultannya.

Di struktur Jikalahari periode 2005-2007, Zulfahmi masih menjabat Koordinator Jikalahari. Kembali ada perubahan struktur. Sudah pakai wakil koordinator untuk bantu kerja koordinator. Ahmad Zazali dipercaya jadi wakil koordinatornya.

Komposisi Dewan Presidium pun berubah. Untuk mengakomodir keterwakilan Mapala masuklah Herbet. Dengan pertimbangan harus ada keterwakilan anggota dari kalangan Mapala di Dewan Presidium. Sebelumnya tidak ada dari Mapala di Dewan Presidium. Padahal Dewan Presidium merupakan representatif dari anggota Jikalahari.

Di struktur Jikalahari sejak Rasa tahun 2005 ada namanya Sodare Jikalahari. Ruang untuk individu bergabung di Jikalahari. Semacam partisan. Akan dilibatkan dalam kegiatan, tapi tidak dibebani tanggungjawab. Tapi kendalanya, lambat meregistrasi teman-teman yang mau berpartisipasi di Jikalahari. Orang-orangnya ada, tapi yang teregistrasi baru satu orang. Yaitu Jono Toro seorang akademisi.

Periode berikutnya Koordinatornya Santo Kurniawan. Wakil koordinator berubah ada dua untuk membagi tugas. Wakil Koordinator I diamanahkan pada Muslim Rasyid, membidangi urusan internal dan kelembagaan. Wakil Koordinator II Hariansyah Usman, membidangi urusan eksternal.

Dewan Presidium berubah nama jadi Dewan Penasehat, fungsinya hanya jika diminta. Karena gak diminta-minta terkesan gak ada fungsi.

Periode 2009-20011 Koordinator masih Santo kurniawan. Wakil koordinator berubah hanya satu. Muslim tetap jadi Wakil Koordinator. Dewan Penasehat berubah nama jadi Dewan Pertimbangan.

Rasa yang terakhir tahun 2011 Muslim terpilih jadi Koordinator Jikalahari. Fadil Nandila sebagai Wakil Koordinatornya. Dewan Pertimbangan fungsinya dirubah, jadi seperti Dewan Presidium. Sekarang Dewan Pertimbangan ada sistem monitoring internal. Dengan tim teknis libatkan Mapala mengontrol kinerja lembaga anggota.

Muslim saat pembentukan Jikalahari utusan dari Yayasan Mitra Insani (YMI). Saat itu YMI fokus pada isu pertanian dan lingkungan. Muslim mulai urus Jikalahari tahun 2004. Masuk ke sekretariat. Diminta oleh Zulfahmi jadi Staf Informasi komunikasi. Sebelum di Jikalahari Muslim sudah fokus pada isu lahan rawa gambut.

Dalam hal penguatan financial Jikalahari juga terus diperkuat dengan semakin banyaknya donor yang percaya akan kinerja Jikalahari. Pada tahun pertama Jikalahari gak punya dana untuk program penyelamatan hutan Riau. Dana dari CEPF hanya cukup untuk urusan sekretariat. Baru sejak 2003 Jikalahari dapat dana dari Simenpu lembaga donor dari Firlandia. Tahun lalu dapat dana dari Semenpu sekitar 60 ribu Euro untuk dua tahun. Juga dapat dari Tasmanian Forest Contractors Association (TFCA). Juga lembaga donor lainnya.

Dalam perjalanannya Jikalahari selalu dorong peran serta lembaga anggota. Pernah dibentuk Kelompok Kerja. Misalnya ada pembagian kerja. Di wilayah Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir lembaga apa yang bertanggung jawab. Di Kuansing, Kampar siapa?. 

“Pokoknya Kita akan lakukan terus simulasi untuk temukan formula sistem terbaik. Learning by doing,” kata Kecang.

KITA TARIK KEBELAKANG sebelum Jikalahari ada, kondisi hutan Riau sudah mengalami deforestasi besar. Pada 1997 terjadi kebakaran hutan besar-besaran. Akibat kemarau panjang. Ditambah ada tradisi buka kebun dengan cara dibakar. Banyak lahan gambut ikut terbakar. Api sulit dipadamkan. Akibatnya hasilkan banyak asap sampai ganggu transportasi.

Sedang tahun 1998 ilegal loging di Riau semakin marak. Pada prakteknya libatkan tiga kelompok. Pertama eksekutor lapangan, ia para perambah yang umumnya masyarakat. Kelompok kedua cukong kayu dan toke-toke. Kelompok ketiga, perusahaan kayu. Ada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Keduanya pabrik kertas besar yang butuh banyak kayu.

“Peralatan pabrik mereka dirancang untuk ukuran bebas, kayu besar pun bisa masuk,” kata Purwo Santoso aktivis World Wide Fund (WWF).

Sementara hutan di Indonesia sudah banyak gundul. Di Sumatera terutama Riau masih ada yang tersisa. Tapi, semua tutupan hutan ini terancam habis, berbarengan dengan maraknya kepala daerah keluarkan Izin. Misalnya saja Di Tesso Nillo akan masuk konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), ada PT Siak Raya juga PT Hutani Sola Lestari. Kalau tidak segera diselamatkan hutan akan habis.

Disisi lain, NGO di Riau tidak ada sinergisitas untuk selamatkan hutan Riau. Berjalan sendiri-sendiri berdasarkan isu masing-masing. Tidak ada yang betul-betul fokus urus hutan Riau.

Pernah ada Forum Penyelamat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (FPTNBT). Ada sekitar delapan LSM dan Mapala bergabung. Tapi FPTNBT hanya fokus urus soal hutan di wilayah TNBT.

Pernah juga ada Forum Konsultasi Daerah yang dimotori oleh Yayasan Riau Mandiri. Forum ini untuk sertifikasi perusahaan berbasis hutan lestari. Jalankan program bersama Lembaga Ekolabel Indonesia, sebuah lembaga sertifikasi. Tokoh Riau Tabrani Rab juga ada di forum. Mereka juga tidak bicara penyelamatan hutan Riau.

Pernah ada Aliansi Tolak Tambang Pasilr Laut. Terdiri dari beberapa NGO. Mereka menolak penambangan pasir laut tidak bicara penyelamatan hutan.

Pernah ada Asosiasi Organisasi Non Pemerintah (Asosiasi ORNOP). Isu yang dibawa bukan hutan. Tapi mengarahkan NGO jadi lembaga yang transparan dan akuntabilitas.

Sebelum Jikalahari ada, tahun 1990an sebenarnya sudah pernah ada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau. Lembaga jaringan penggiat lingkungan yang strukturnya dari nasional sampai daerah.

“Sekitar tahun 1997 WALHI Riau dicabut oleh WALHI Nasional karena masalah internal,” kata Ruly Sumanda, Direktur Walhi Riau pertama, setelah Walhi Riau dihidupkan lagi.

Singkatnya,sudah banyak gerakan yang dilakukan. Jumlah NGO juga sudah banyak, tapi tidak ada yang fokus kerja untuk selamatkan hutan Riau. Mereka bekerja sendiri-sendiri. Dengan isu yang berbeda-beda. Sampai pada momen terbentuknya Jikalahari. Ketika Jikalahari hadir fokus utamanya adalah bekerja menyelamatkan Sisa Tutupan Hutan Alam Riau.

MAJALAH TEMPO memeberi apresiasi atas kerja Jikalahari selama ini. Edisi 2 Februari 2012 TEMPO tulis tujuh lembaga non pemerintah sebagai lembaga penggiat anti korupsi. Salah satunya Jikalahari. Judul tulisannya ‘Para Penjaga Hutan Riau’. Jikalahari, disejajarkan dengan  power renger.  Sang penjaga hutan.

Prosa itu agaknya tidaklah berlebihan. Selama 10 tahun Jikalahari memang terlibat aktif dalam menjaga hutan Riau.

Jikalahari memulai kerjanya dengan mengumpulkan data, melakukan kampanye penyelamatan hutan Riau. Juga mengadvokasi kepentingan masyarakat. Sampai pada satu titik, Jikalahari terlibat dalam penegakan hukum. Termasuk korupsi kehutanan.

Puncaknya tahun 2005 . Presiden terbitkan Inpres No. 4 Tahun 2005 pada 18 Maret 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia. Dilanjutkan dibentuk tim Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi (Kormonev). Tim ini dibentuk dengan Surat Keputusan Menkopolhukam SKEP-76/Menko/Polhukam/9/2007.

Jikalahari masuk tim Kormonev, diwakili oleh Santo Kurniawan saat itu ia Koordinator Jikalahari. Sampai sekarang tim ini belum dibubarkan. Tim kerja lakukan Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk percepat pemberantasan ilegal loging.

Sebelumnya sudah banyak data yang dihimpun Jikalahari, terkait Ilegal loging dan soal hutan di Riau. Jikalahari hitung kerugian negara sekitar 2,8 triliun. Akibat pemberian izin yang bertentangan dengan PP 34/2004. PP ini mencabut kewenangan kepala daerah keluarkan izin. Sementara ada 37 izin dikeluarkan Gubernur dan Bupati setelah PP itu terbit. Jikalahari beberkan namanya.

Termasuk Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar dan Bupati Siak Arwin AS. Lalu semua data diserahkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sampai akhirnya beberapa kepala daerah diproses. Karena keluarkan izin dan terbukti merugikan keuangan negara. Tengku Azmun Jaafar Bupati Pelalawan dipenjara 11 tahun lebih. Begitu juga Arwin AS dihukum penjara 4,5 tahun. Sedang Suhada Tasman mantan Kepala Dinas Kehutanan sekarang disidang dengan tuntutan yang sama, merugikan keuangan negara.

Sebelum di proses, Bupati Siak dan Bupati Pelalawan sempat tandatangani surat kesepahaman bersama Jikalahari. Penandatangan dilakukan dalam agenda Conference of the Parties (COP 13). Saat pertemuan United Nations Climate Change Conference (UNCCC) di Denpasar Bali, tahun 2007. Salah satu isinya, ada kesepakatan lestarikan ekosistem hutan rawa gambut Semenanjung Kampar.

Hingga kini Jikalahari masih perjuangkan penyelamatan tutupan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar. Berbarengan dengan penyelamatan hutan di daratan, tanah keras. Melalui strategi penyelamatan yang Mereka lakukan. Jikalahari lakukan konfrontasi ke PT RAPP. Buat Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (TP2SK). Dalam tim itu ada Walhi Riau, Jikalahari, Scale Up, Greenpeace Sea, KBH Riau, LBH Pekanbaru, Kaliptra Sumatera, Kabut Riau dan TII Riau.

TP2SK tetap berjalan, muncul Forum Masyarakat Semenanjung Kampar lakukan gugatan citizen lawsuit. Gugatan yang dilakukan warga. TP2SK dampingi gugatan ini. Mereka gugat Menteri Kehutanan sebagai tergugat I dan Bupati Pelalawan tergugat II.

TP2SK ajukan usulan perdamaian pada para tergugat. Intinya merevisi SK Menhut 327 tahun 2009 dan menjadikan hutan Negara tidak lagi kawasan HTI PT RAPP. tapi, jadikan Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat atau Hutan Kemasyarakatan, dengan catatan terlebih dahulu tanah milik warga dikeluarkan.

Namun, negosiasi itu ditolak tergugat. Alasan tergugat I karena tidak ada dasar hukum yang kuat untuk merevisi SK 327 tahun 2009. Tergugat II hanya mengikuti apa yang menjadi keputusan Menhut RI. Akhirnya sidang ini berlanjut (pada akhirnya kalah).

Jikalahari juga tergabung dalam Forum Multi Pihak Semenanjung Kampar (FMSK). Forum ini bahas bagaimana memanfaatkan Semenanjung Kampar. Di dalamnya mengakomodir semua kepentingan. Ada lima pihak dalam forum ini. NGO, pemerintah, perusahaan, masyarakat dan akademisi. Jikalahari perjuangkan masyarakat mendapatkan haknya. Dan tentu saja pengolahan jangan rusak lingkungan.

Berbarengan dengan advokasi di Semenanjung Kampar, Jikalahari juga berperan aktif menyeret perusahaan yang terlibat ilegal loging. Mereka pandang ketika perusahaan tetap beroprasi, upaya menjebloskan kepala daerah ke penjara tidak berarti apa-apa. Toh, perusahaan tetap bisa menebang hutan dengan izin yang didapat. Walaupun para kepala daerah sudah dipenjara karena keluarkan izin itu dan dinyatakan merugikan negara.

Perjuangan menyeret perusahaan terbentur tatkala Hadiatmoko Kapolda Riau pada 2008 keluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 14 perusahaan yang pernah di laporkan Jikalahari. Tapi, sampai sekarang Jikalahari tetap upayakan kasus ini di buka kembali. Mereka ingin SP3 di cabut.

Untuk dorong SP3 dicabut, Mereka buat tim Eksaminasi Publik. Di tim itu ada Prof. DR. Bambang Widodo Umar, Pengajar PTIK/mantan Polisi, DR.Agus Surono,SH.MH, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar, DR.Asep Iwan Iriawan,SH. Mhum, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Adnan Pasliadji,SH, Pengajar Pusdiklat Kejaksaan/mantan Jaksa, Flora Dianti,SH.MH, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rhino Subagyo,SH.MH, Peneliti ICEL. Mereka ditunjuk Jikalahari sebagai Tim Eksaminasi Publik.

Tim Eksaminasi ini diinisiasi dibentuk atas inisiasi Jikalahari bersawa Indonesia Corruption Watch (ICW). Jikalahari dan ICW jadi Tim Perumus dalam Eksaminasi Publik. Diwakili oleh Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari. Susanto Kurniawan, Dewan Pertimbangan Jikalahari. Serta dua orang aktivis ICW; Donal Fariz dan Emerson Yuntho.

“ICW memandang penting korupsi sektor kehutanan, karena kerugian Negara banyak sekali, juga kerugian ekologi,” kata Emerson. Bagi Emerson, Jikalahri mempunyai aspek kualitas sangat bagus. “Kita perlu patner dalam melawan korupsi kehutanan, di Riau, Jikalahari pilihan yang pas." katanya.

Selain program advokasi, Jikalahari juga ada program pemberdayaan masyarakat desa. Sekarang ada program pendampingan masyarakat yang dijalankan Yayasan Kabut Riau. Didukung TFCA. Program ini ada di desa Sungai Rawa. Berada di kawasan Semenanjung Kampar. Berbatasan langsung dengan pesisir laut.

Dari kelompok kecil di desa Sungai Rawa, pecinta Magrove lahir. Anggotanya masyarakat tempatan. Mereka buat bibit Magrove, Bakau dan Api-api. Mereka tanam di pesisir. Tujuannya selamatkan kawasan Magrove pesisir pantai.

Jikalahari  sempat kusilatan mengajak masyarakat jaga lingkungan. Sebabnya, masyarakat punya pemikiran yang terpenting, bagaimnana mereka bisa dapat manfaat langsung bisa dirasakan hari ini. “Nah, itu yang belum bisa kita jawab dengan cepat,” kata Santo.

PADA 3 FEBRUARI 2012 Forum Pers Mahasiswa Riau gelar diskusi10 tahun Jikalahari di kantor Jikalahari. Beberapa orang pendiri Jikalahari hadir. Ada Priyo Susanto, Kecang, Muslim, Santo, Teddy dan beberapa lainnya. Zulfahmi di hubungi lewat Skype. Mereka bercerita mulai pembentukan hingga perjalanan Jikalahari di usia 10 tahun ini.

Dalam perjalanannya ada anggota Jikalahari yang keluar. Bahkan ada yang dikeluarkan. Karena ketahuan ‘bermain mata’ dengan perusahaan perusak lingkungan. Sekarang anggota Jikalahari tinggal 22 lembaga yang semula 29.

Menanggapi hal itu mereka tidak khawatir dengan pengkaderan di Jikalahari. Menurut Priyo semua tergantung pengkaderan dari lembaga anggota. Karena basisnya ada di lembaga anggota. Mapala yang terlibat program Jikalahari juga jadi basis kader.

“Kader sudah muncul sebetulnya. Masalah kuantitas saja sekarang. Sebenarnya yang dijadikan indikator bukan berapa kader yang dihasilkan. Tapi, kita bicara eksistensi setiap anggota di dalam perkumpulan. Itu kaderisasi Jikalahari,” tambah Riko.

Di usia yang ke 10 ini mereka berharap, Jikalahari terus menjaga hutan Riau. Serta membuat terobosan-terobosan lebih baik

”Kalau aku sekarang tinggal, Jikalahari kedepan mau dibawa kemana?” tutup Santo. 

Sabtu, 14 Desember 2013

Suara Hutan Sampai Eropa

TIGA AKTIVIS Hutan Indonesia laksanakan tour ke Eropa. Acara berlangsung 9-30 November 2012. Mereka; Muslim Rasyd dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Aidil Fitri dari Wabana Bumi Hijau dan Hariansyah Usman mewakili Wahana Lingkungan Hidup(Walhi)  Indonesia. Acara ditaja oleh European Environmental Paper Network (EEPN)—merupakan koalisi dari 69 LSM lingkungan dan sosial dari 24 negara untuk mengubah industri kertas Eropa menjadi etis dan berkelanjutan.

Ketiganya kunjungi sembilan kota di Eropa dalam tiga minggu. Di Berlin mereka bertemu LSM Eropa presentasi pada pertemuan publik. Di London mereka melakukan diskusi dengan pengusaha kertas, industri percetakan Di Brussels bertemu anggota kunci Parlemen Eropa. Di Barcelona bicara dengan Federasi Percetakan dan penerbit. Di Zurich bicara dengan bank Swiss yang terlibat dalam investasi Indonesia. Roma, Wina, Dusseldorf dan Helsinki juga dikunjungi.

“Kegiatan ini terkait kampanye bersama aktivis Indonsia untuk hentikan masifnya penghancuran hutan di Indonesia, bagaimana mereka (Eropa) tidak terlibat dalam percepatan penghancuran hutan di Indonesia,” kata Muslim.

Saya sempat berbincang dengan Muslim Rasyd. Berikut petikannya;

Apa saja yang disampaikan disana?

Pertama terkait ekspansi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia. Kemudian soal rencana pembangunan pabrik kertas baru oleh PT RAPP di Palembang— Sumatera Selatan. Juga kasus korupsi— kejahatan— kehutanan. Ada indikasi keterlibatan perusahaan industri kertas dalam kejahatan kehutanan tersebut. Jadi, sebenarnya kami menyorot isu hutannya. Bagaimana HTI tidak memakai kayu dari hutan alam lagi. Ini penting karena kalau mereka—Eropa— tidak menahan konsumsi bahan baku kayu dari hutan alam, peningkatan kapasitas dan pembangunan pabrik baru akan terus saja terjadi.

Masalahnya dengan pembangunan pabrik baru?


Kalau ada pabrik baru berarti butuh bahan baku baru. Tidak ada perusahan yang tanam dulu baru membangun pabrik. Pasti mereka sudah ada bahan baku. Dan bahan baku utamanya itu dari hutan alam bukan akasia yang ditanam. Ini ancaman sebenarnya. Sangat membahayakan untuk terjadinya kejahatan kehutanan yang melibatkan Group Industri kertas.

Bagaimana reaksi orang Eropa tau Informasi itu?


Saya tangkap mereka terkejut karena selama ini mereka tidak tahu apa yang terjadi di lapangan. Mereka hanya tahu apa yang mereka baca misalnya dari selebaran. Kertas yang mereka gunakan adalah kertas yang peduli lingkungan telah di sertifikasi dan tidak melanggar HAM. Yang paling menarik itu saat berkunjung ke Parlemen Uni Eropa mereka sangat terkejut perusahaan yang sudah disertifikasi hijau bisa terlibat skandal korupsi kehutanan dan ambil kayu hutan alam.

Lalu apa arti pentingnya datang ke Eropa?

Arti pentingnya paling tidak selama ini dunia internasional tidak tahu bahwa kertas yang mereka gunakan untuk tisu toilet, reklame berasal dari hutan alam. Mereka selama ini berpikir ketika suatu perusahaan sudah mendapat sertifikat dari lembaga sertifikasi itu sudah oke. Bahwa itu tidak merusak lingkungan, tidak menghancurkan hutan alam . Dan kita menyampaikan tidak seperti itu kejadiaannya. Di Riau, Padang, Jambi, Palembang, Kalimantan itu menyisakan konflik sampai saat ini. Otomatis jika masyarakat Eropa ikut mengkonsumsi pruduknya, mereka juga ikut membiarkan persoalan-persoalan ini terus terjadi.

Gunanya sampaikan informasi ini ke Eropa apa?


Paling tidak ini sebagai bentuk tekanan kita terhadap pasar. Bahwa mereka jangan terlalu percaya dengan kampanye hijau yang dilakukan industri kertas di Indonesia. Kenyataan di lapangan tidak seperti itu sebenarnya. Dan ini sebenarnya bisa dibuktikan bahwa pernyataan baru dari Asia Pulp & Paper (APP) per 5 Februari mereka tidak akan menggunakan kayu alam lagi, tidak akan eksploitasi lahan gambut dan akan menyelesaikan konflik. Berarti itu sebuah konfirmasi bahwa apa yang kita katakan di Eropa benar.

Berarti Forum Eropa kemaren beri tekanan ke perusahaan kertas?

Secara tidak langsung iya. Karena kita kampanye ke pasar mereka. Ke masyarakat Eropa yang kebetulan salah satu pasar terbesar industri kertas.

Bagi konsumen di Eropa sendiri seberapa penting informasi ini?

Paling tidak dari pertemuan itu mereka terkejut. Sebenarnya masih banyak masalah dari industri kertas. Banyak konflik sosial, masalah lingkungan yang ditimbulkan. Selama ini mereka terima produk kertas ada label sertifikat hijaunya. Tapi dengan kita beri informasi mereka jadi paham kondisi riil di lapangan.

Bagaimana praktek penggunaan kertas di Eropa?

Kalau disana itu sebenarnya sedang ada perang antara media cetak dan new media. Media cetak tetap mendorong jangan sampai berhenti menggunakan kertas untuk bantu belajar media. Jadi secara iklim politik media sedang berperang sebenarnya antara cetak dan elektronik. Kami sempat bertemu pengusaha percetakan. Jadi mereka mempromosikan mengapa harus berhenti cetak karena bisa menggunakan kertas hijau dan baik tidak ada masalah.Kita tinggal menagih pernyataan mereka. Kita bilang kalau memang mau mencetak gunakan kertas yang hijau dan jauh dari pelanggaran HAM.

Berapa besar penggunaan kertas di Eropa untuk dunia percetakan?
Besarlah, sebenarnya di Eropa itu lebih 80 persen kertas yang dikonsumsi adalah kertas yang habis satu hari. Setelah sore, itu jadi sampah. Bisa kita lihat berapa banyak yang dicetak di koran dan itu hanya satu hari setelah sore jadi sampah. Sangat sedikit kertas yang digunakan lama seperti buku.

Dan mereka paham itu?

Karena kita menyampaikan tidak dengan bual kosong kita mendemotrasikan dengan data dengan  media visual gambar dan sebagainya yang bisa kita lihat jadi memang yang kita perlihatkan itu adalah yang bisa mereka lihat dan bisa mereka rasakan.

Lalu, peran lembaga keuangan disana terhadap perusahaan kertas di indonesia?

Kalau kita lihat sebenarnya industri kertas di indonesia mendapat pinjaman dari bank-bank luar negeri disana. Bank-bank disana juga memberi jaminan asuransi untuk industri kertas itu tetap bisa jalan. Jadi kita bilang lembaga keuangan di Eropa harus bertanggungjawab terhadap kerusakan hutan di Indonesia.

Waktu itu sempat bicara dengan mereka?

Iya kita bicara dengan dua donatur dan lembaga asuransi APP.

Tanggapan mereka ?

Mereka tidak punya wewenang untuk meghentikan itu. Mereka memberi bantuan sesuai proposal yang diajukan perusahaan. Dan menurut mereka selama ini proposal yang mereka baca dan dinilai bagus. Jadi mereka bilang nanti akan ada evaluasi di lembaga mereka. Tetap ngambang lah. Lembaga keuangan agak payah kita taulah setipa uang mereka terpakai mereka dapat keuntungan. Apalagi Bank Swiss mengambang dan normatif. Mereka tak mau dikritisi

Berapa lama mereka sudah mendanai APP?

Sudah lama. APP tidak hanya satu bank yang danai. Banyak bank salah satunya ya, Bank Swiss. itu dilakukan misalnya kayak dulu tahun 2004 mereka mendapat suntikan baru dari bank di Eropa.

Pengaruh pertemuan itu dengan perlindungan hutan di Indonesia?

Kalau kita lihat dari komitmen yang dilakukan APP—walaupun nanti harus dilihat pelaksanaan komitmennya— paling tidak beberapa kawasan hutan di lingkungan mereka tidak mereka tebang lagi. Pun tidak bisa dipungkiri mereka mempunyai rekam jejak serius melanggar komitmen.

Bagaimana praktek industri kertas di Eropa?

Disana mugkin tidak menggunakan hutan alam lagi—karena tidak ada hutan alam lagi. Mereka menggunakan kayu-kayu yang mereka tanam. Tapi— sebenarnya bukan berarti tidak ada masalah lingkungan disana. Membicarakan industri kertas tidak hanya masalah bahan baku nya tentu juga pengolahannya. Seperti limbah industri. Tapi kebetulan kemaren kita tidak bicara limbah industri. Difokuskan kampanye pada penyelamatan hutan.

Solusi yang dihasilkan? 

Solusi yang dihasilkan teman-teman di Eropa itu akan mengkampanyekan yang kita suarakan disana. Kemudian mereka juga meminta pertanggung jawaban ke kementerian dan parlemen karena telah meggelontorkan bantuan ke Indonesia. Justru mengakibatkan pengaturan hutan di Indonesia bukan bertambah baik.

Apa yang akan dilakukan setelah pertemuan di Eropa?

Mereka tetap berkampanye tetap mendorong pihak-pihak di Eropa untuk tidak lagi mengakibatkan penghancuran hutan di Indonesia semakin besar. Mendorong pemerintah mereka agar perbaikan tata kelola di Indonesia melalui kerjasama Indonesia—Eropa. Itu yang akan dilakukan.

Pers Terus Dilibas

Tulisan ini adalah reaksi atas maraknya kekerasa yang dialami jurnalis di akhir tahun 2012 lalu. Salah satunya korbannya, Didik Herwanto, wartawan foto harian Riau Pos saat meliput jatuhnya pesawat milik TNI AU. Tulisan ini telah diterbitkan di Riau Pos

ROSIHAN Anwar pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak mengenal tradisi kebebasan pers. Pernyataan ini disampaikan saat diskusi panel bertajuk “Refleksi Peranan dan Posisi Pers Nasional dalam 50 Tahun RI” yang ditaja PWI Pusat pada 1995. Rosihan Anwar merupakan  pemimpin redaksi Harian Pedoman. Ia sempat merasakan pembredelan dua kali, pada 1961 dan 1974.

Kalau kita simak peristiwa pemukulan jurnalis, pernyataan Rosihan ini semakin nyata kebenarannya.  Bagaimana tidak? Deretan cerita kekerasan dialami jurnalis terus bertambah panjang. Belum lagi tuntas kasus pemukulan wartawan saat liputan jatuhnya pesawat hawk 200 oleh oknum TNI AU Pekanbaru, ternyata pada Senin (22/10) Asri Satar seorang wartawan televise dipukul oknum polisi di Samarinda. Ia dipukul saat  meliput aksi demo mahasiswa. Akibatnya, wajah memar dan kameranya rusak. Dua kasus ini terjadi di bulan yang sama, yaitu Oktober. Hanya selang satu minggu.

Terlebih dahulu coba kita lihat fakta kekerasan yang dialami jurnalis di Riau yang belum lama ini terjadi. Dalam catatan ada sekitar 6 jurnalis yang dianiaya petugas di lokasi jatuhnya pesawat buatan British Aerospace, Inggris itu. Pesawat itu jatuh pada 16 Oktober lalu, di perumahan warga RT 04/02 Dusun Becah Rimbat, Desa Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Salah seorang wartawan yang dianiaya adalah Didik Herwanto wartawan foto Riau Pos.

Akibatnya Didik mengalami luka di bagian telinga hingga mengeluarkan darah. Kamera Didik pun dirampas paksa. Peristiwa ini sempat tertangkap kamera. Didik dijatuhkan, dipukul serta dicekik.  Bukti video peristiwa pemukulan yang terekam kamera tentu membuat oknum TNI AU Letkol Robert Simanjuntak mestinya tak bisa mengelak lagi setelah lakukan pemukulan.

Advokasi pun dilakukan berbagai organisasi jurnalis di Riau seperti PWI, AJI, IJTI, PJI, PFI dan Sowat. Tak ketinggalan LBH Pers di Jakarta. Mereka juga menyampaikan persoalan ini ke Dewan Pers, Komnas HAM, dan Komisi I DPR RI. Responnya positif memang kalau kita lihat. Komnas HAM langsung membentuk tim dan melakukan investigasi lebih lanjut. Saya pikir tidak perlu lagi ada investigasi. Bukti-bukti toh sudah cukup jelas. Tinggal bagaimana membuktikan tindak pidananya saja. Serta membuktikan pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Kalau masih harus menunggu investigasi akan memperlama proses hukumnya. Dewan Pers, Komnas HAM, Komisi I DPR harusnya segera mendorong agar pelaku diadili. Dan tentunya mengawal kasus ini hingga ada proses hukum yang berkekuatan tetap.

Sebenarnya saat itu yang jadi korban pemukulan bukan hanya wartawan, warga pun ada yang menjadi korban pemukulan. Bahkan mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) juga ada yang jadi korban. Ini sudah keluar dari pakem tugas TNI tentunya. Apapun alasannya kekerasan tidak dibenarkan oleh aturan manapun. Termasuk kekerasan terhadap jurnalis. Mau jadi seperti apa nasib pers Indonesia kalau kekerasan seperti itu dibiarkan?

Lalu, coba kembali kita refleksi kejadian yang terakhir di Samarinda. Oknum polisi jadi pelakunya. Dari dua kasus ini saya sempat terpikir mungkin dua institusi ini lagi ikut lomba, ya? Lomba “melibas” jurnalis. Tentu saja tak pernah ada lomba semacam itu, hanya di dunia hayal. Memang bukan kejahatan yang tersetruktur tapi keduanya adalah cermin dari apa yang dikatakan Rosihan Anwar,  “Indonesia tak punya tradisi kebebasan pers”. Kalau ini dibiarkan mari kita tunggu saja matinya kebebasan pers di Indonesia.

Pada 2003 lembaga Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) melakukan riset tentang pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Sumatera. Hasilnya, 21 persen kekerasan terhadap wartawan dilakukan polisi dan TNI. Sebuah angka yang cukup besar. Bahaya sekali kalau terus dibiarkan tanpa saksi tegas. Belum lagi soal warga yang harusnya jadi bulan-bulanan pelampiasan emosi mereka. Katakanlah oknum. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), beberapa kali sempat merilis bahwa TNI di rangking teratas  sebagai ‘’musuh’’ kebebasan pers.

Menyikapi pemukulan jurnalis di Riau, insan pers tak boleh tinggal diam. Kita lihat kecaman demi kecaman bergulir bak bola salju yang makin membesar. Solidaritas terbangun. Aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah, tak hanya di Riau. Wartawan Purwokerto, menggelar aksi keprihatinan di halaman Gedung RRI Purwokerto. Di Padang wartawan gelar aksi teaterikal di tugu perjuangan. Aksi solidaritas juga dilaksanakan di Jakarta, Medan, Bandung, Manado, Makasar, Ambon, Pontianak, Jombang, Takengon dan hamper seluruh kota. Semua mengutuk kekerasan terhadap wartawan,  ribuan wartawan turun ke jalan menuntut agar kasus ini di selesaikan bahkan meminta Letkol Robert Simanjuntak diberhentikan.

Fenomena aksi masa ini mengingatkan pada peristiwa di tahun 1994. Saat itu jurnalis menentang pembungkaman pers yang dilakukan pemerintah. Hanya beda modus saja yang jadi pemicu. Kalau sekarang persoalan adalah kekerasan terhadap wartawan, sedang dulu adalah pemberedelan oleh pemerintah. Kejadiannya usai pemberedelan tiga pecan berita, majalah Tempo, majalah Editor dan tabloid politik Detik, ribuan jurnalis turun ke jalan di sedikitnya 21 kota selama lebih dari satu tahun. Atmakusumah mencatat  ini adalah demontrasi terbesar dan terpanjang anti pemberedelan dalam sejarah pers di Indonesia. Ini adalah pergerakan bola salju melawan matinya kebebasan pers.

Kamis, 12 Desember 2013

Kumis

SATU MALAM, medio Desember, Bukhori-teman serumahku-membawa pulang majalah FourFourTwo bekas. Ini salah satu majalah bola milik Kompas Gramedia.  Ia memang rajin beli majalah bekas sejak tau tempatnya di sebuah gang depan kampus UIN Sultan Syarif Qasym (gedung lama) Pekanbaru. 

Aku membolak-balik isinya. Ternyata ada satu yang menarik. Dua halaman penuh berisi deretan pemain bola tahun 70-an dan 80-an. Mereka dipajang bukan lantaran para legenda. Melainkan karna punya kumis. Bentuknya macam-macam. Ada yang mirip gaya kumis Jusuf Kalla, tipis saja dibawah hidung. Ada pula yang tebal dan pirang.

Tapi, yang paling mencolok sebuah kumis tebal melengkung ke pipi. Percis kumis tokoh pak Raden. Itu milik seorang pemain bola asal Belanda bernama, Abe Van Den Ban. Karir sepak bolanya tidaklah gemilang. Cendrung biasa saja malah. Kalau ia terkenal itu bukan karena bersinar di lapangan hijau, semata hanya karena unik kumisnya.

Kumis tampaknya bukan sekedar bulu. Ia bisa dilihat dari banyak dimensi. Bahkan masuk pada dimensi kebudayaan dan agama.  Umat Islam misalnya sunnah memelihara jenggot. Dalam kajian history hadis disebutkan kenapa memelihara jenggot sunah? Alasannya, lantaran kaum Kafir Qurays memelihara kumis dan mencukur jenggot. Jadi, untuk membedakan orang islam dihimbau pelihara jenggot dan cukur kumis. Supaya mudah mengidentifikasi saat perang terjadi.

Sensitif sekali ternyata kumis. Bisa membentuk streotip sedemikan biut. Lalu anda akan pelihara kumis atau jenggot?  

Rabu, 11 Desember 2013

Bunga Bangsa di Tengah Srikandi Berbari


Bagaimana kisah pemberdayaan perempuan?  


MEDIO FEBRUARI panas menyengat pemukiman desa Sungai Berbari di kecamatan Pusako, Kabupaten Siak. Jam sudah menunjukan pukul 14.00. Rahmawati dan sembilan perempuan lainnya  menuju kebun. Mereka anggota kelompok Berbari Jaya—nama kelompok perempuan yang olah kebun itu. Cangkul dan parang ditenteng. Siang itu mereka hendak panen jahe. “Panas sih, tapi kalau pagi ibu-ibu sibuk. Makanya sepakat siang ini panennya,” kata Wati—sapaan akrabnya.

Rahmawati merupakan Bendahara Kelompok Perempuan Berbari Jaya. Sehari-hari ia guru di SD N 07 Sungai Berbari. Usianya tak muda lagi. “Saya sudah tiga puluh satu tahun sekarang, anak pun uda dua orang,” terangnya. Siang itu ia tetap bersemangat walau panas menyengat.

Kebun yang mereka garap seluas satu hektar. Letaknya tak jauh dari pemukiman warga.Tepat berada di tepi jalan utama. Setengah luas kebun itu ditanami jahe.

Jahe ditanam di atas bedengan—tanah yang digemburkan dan dibuat gundukan. Di bedengan itu ada dua jenis jahe; jahe merah dan jahe putih. Wati lihat daun di bagian bawah batang sudah menguning. Umbi jahe uda bisa di ambil. Usianya tanaman jahe mereka sekira 8 bulan sejak ditanam. “Kalau untuk dijual uda bisalah,kalau untuk bibit belum cukup umur. Harus sepuluh atau sebelas bulan baru bisa untuk bibit,” kata Wati.

Wati dan teman-temannya mulai galih tanah. Pelan-pelan agar jahe tak luka kena cangkul. Batang demi batang dicabut. Umbi jahe—pun dikeluarkan dari dalam tanah. Tak banyak yang mereka panen siang itu. Hanya 10 kilogram. “Sengaja, karena cuma mau lihat hasilnya,”

Wati lihat jahenya kecil-kecil. Sekira ukuran jempol.”Kayak jahe emprit,bukan jahe gajah” celetuk Wati . Padahal jahe yang mereka tanam jenis jahe gajah. Ukuran bibitnya relatif besar. “Lantaran pakai sistem pertanian organik makanya kecil-kecil hasilnya,” terang Wati. Walau begitu rasanya lebih enak dari jahe biasanya.

Mereka pakai pertanian organik berawal dari pelatihan dengan Martha Tilaar di Jakarta tentang tanaman Obat,Kosmetik dan Aroma Teraphy (OKA). Wati dan satu temannya mewakili kelompok Perempuan Berbari Jaya ikuti pelatihan itu. Mereka diajarkan bagaimana bertanam jahe secara organik. Mulai pengolahan yang harus pakai cara manual sampai cara membuat pupuk organik.  Usai pelatihan kelompok Berbari Jaya benar-benar terapkan sistem pertanian organik.

“Sengaja mereka kami ikutkan pelatihan agar termotivasi untuk bertanam organik. Tembakannya nanti kalau berhasil buat tanaman organik ada MoU dengan Marta Tilaar agar hasil pertanian mereka dibeli Marta Tilaar,” ujar Santi Koordinator Program Yayasan Bunga Bangsa (YBB)

TERBENTUKNYA KELOMPOK
perempuan Berbari Jaya tak terlepas dari peran Yayasan Bunga Bangsa (YBB). Lembaga ini konsen perjuangkan hak-hak perempuan.

YBB didirikan tanggal 20 Mei 2000 oleh enam perempuan yang memiliki komitmen sama.  Mereka prihatin atas ketidak adilan gender dalam bentuk diskriminasi, subordinate, marginalisasi dan kekerasan. Juga soal rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Baik dalam rumah tangga maupun lingkungan bernegara.

Sejak didirakan YBB jadi wadah bagi aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Mulai diskusi hingga advokasi sudah dilakukan.

Saat ini YBB tergabung jadi anggota Jaringan Kerja Penyelamat Lingkungan (Jikalahari). Melalui program TFCA, YBB lakukan penguatan masyarakat dengan mendampingi kelompok di Desa Sungai Berbari.

Sejak tahun 2010 YBB sudah aktif dampingi warga desa sungai Berbari. Tapi program TFCA baru masuk pada tahun 2011. Awalnya YBB lakukan pemetaan potensi desa. “Kita coba lihat apa yang mereka butuhkan. Kalau dibilang miskin ya gak juga. Mereka sudah maju. Tapi ketergantungan sangat tinggi terhadap suami dan hasil sawit. Perempuan di sini perlu ditingkatkan kapasitasnya,” kata Santi.

Banyak perempuan di desa Sungai Berbari berlatar belakang petani. Walaupun ada yang guru dan profesi lainnya. YBB putuskan buat kelompok perempuan bernama Berbari Jaya. Kelompok ini diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga dan mengurangi ketergantungan terhadap suami. Caranya dengan menanam tanaman sayur. “Minimal kebutuhan sayur sehari-hari dapat mereka penuhi. Tentu saja ini sangat membantu sumi,” terang Santi.

Usai kelompok terbentuk YBB cari lahan yang bisa digarap. “Ternyata sudah gak ada lagi lahan, semua uda milik perusahaan Hutan Tanaman Industri,” terang Santi.

Berharap perusahaan HTI mau pinjamkan lahannya,  YBB langsung menginisiasi buat surat peminjaman lahan. Mereka mengajukan peminjaman lahan seluas dua hektar. “Satu hektar untuk perempuan. Satu hektarnya lagi untuk para bapak-bapak lantaran ada usulan kepala desa untuk pinjam sekalian buat bapak-bapaknya,” terang Santi.

Lama dinanti jangankan dapat dua hektar satu hektarpun tak dapat. “Perusahaan tidak merespon permintaan kami,”  lanjutnya.

Tak mau lama menunggu, YBB coba cari tanah warga yang gak digarap. Akhirnya ada yang mau pinjamkan tanahnya satu hektar. Dengan cuma-cuma.  Agar ada kepastian hukum mereka buat perjanjian pinjam pakai.

Mereka mulai tanam sayur-sayuran. Ada labu, cabai, juga jahe. Untuk garap kebun ini mereka punya jadwal piket lima orang perhari.  Mulai bersihkan rumput sampai perawatan lain.

Perjuangan anggota kelompak garap kebun terbilang tak mudah. Tak ada air di kebun mereka. Parit di kebun hanya ada airnya saat hujan. Kalau ambil air dari pemukiman jaraknya terlalu jauh. Mereka bisa atasi masalah itu dengan manfaatkan tong penampung air di MDA yang tak lagi dipakai.

Dalam hal teknis YBB ajak kerjasama pihak penyuluh pertanian. Mereka yang mendampingi kelompok ini terapkan pertanian organik. Berkomitmen pakai sistem pertanian organik ternyata tak berjalan lancar sesuai harapan. Tanaman jahe mereka terserang hama. Batang dan daunnya menguning.

Walau penyuluh sarankan pakai pestisida untuk hilangkan hama, mereka tetap tak mau.
“kondisi ini sempat membuat anggota kelompok tak semangat tapi, tetap kita upayakan atasi dengan cara organik. Kita coba pakai daun sirsak yang difermentasi. Semoga saja berhasil,” papar Santi.

Sebelum tanaman jahe kelompok Berbari Jaya terserang hama, mereka sudah pernah panen labu. Hasilnya sangat bagus. “Ya bisalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Santi.

“Walaupun secara teknis pertanian kita ini gagal tapi, peningkatan kapasitas kita berhasil. Misalnya dari sebelumnya tak terlibat sekarang kalau ada rapat perempuan sudah mulai terlibat. Ikut memberi pendapat,” terang Santi. 

Perempuan yang didampingi YBB juga aktif pada kegiatan di luar kelompok. Seperti saat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) kecamatan Pusako—yang kebetulan penyelenggaraannya di desa Sungai Berbari—kelompok Berbari Jaya terlibat aktif. Mereka jadi panitia pelaksananya.

Pada kesempatan ini pula mereka sempatkan untuk buat stand mempromosikan hasil pertanian mereka. Ada jahe instan yang mereka jual. Jahe instan ini mereka sendiri yang membuatnya. Tentu saja sebelumnya mereka sudah dilatih terlebih dulu membuat olahan jahe.

Wati ceritakan cara membuat jahe instan terlebih dahulu jahe diparut, lalu dimasak. Setelah itu dikeringkan dan dicampur gula pasir. Proses selanjutnya jahe yang sudah kering tadi dibelender agar halus. Jahe instanpun sudah bisa dinikmati.  Bahkan Wati tak hanya saat momen MTQ sehari-hari dia juga memperoduksinya di rumah. “Lumayanlah dengan modal 40 ribu kita bisa dapat 100 ribu,” kata Wati. 

Pada tahun ke dua program TFCA, YBB juga buat kelompok Berbari Permai di desa Sungai Berbari—anggotanya juga perempuan semua. Kelompok Berbari Permai fokus garap Credit Union (CU).

CU merupakan Badan Usaha yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang bersepakat menabung uang untuk modal bersama, guna dipinjamkan diantara sesama mereka.  Dengan tujuan produktif peningkatan kesejahteraan. Sistem ini dikembangkan pertama kali pada tahun 1852 di Jerman—metodenya mirip dengan koperasi simpan pinjam.

“Bedanya CU lebih mengutamakan kepercayaan, mengedepankan prinsip kekeluargaan  dan pinjaman tak boleh untuk keperluan konsumtif,” jelas Santi.

Awal terbentuk YBB segera lakukan peningkatan kapasitas kelompok Berbari Permai. Training CU dan penguatan pengurus dilaksanan.

Bagi anggota CU ada nilai-nilai yang harus mereka junjung, antaranya; menolong diri sendiri, percaya diri, demokrasi, kesetaraan, keadilan, swadaya, pendidikan, solidaritas, dan pembangunan manusia.

Hingga kini anggota CU yang tergabung dalam kelompok Berbari Permai sudah 13 orang. Baru empat bulan berjalan mereka sudah kelola dana lebih dari 16 juta rupiah.

Setiap anggota wajib bayar Simpanan Pokok sebesar 30 ribu. “Ini cukup bayar sekali, sebagai simpanan pokok anggota,” jelas Santi.  Selain itu juga ada simpanan wajib 10 ribu perbulan. Dan simpanan sukarela—tabungan—minimal 5 ribu. Kalau anggota mau pinjam uang, dihitung dari simpanan sukarela. “Disepakati minimal harus tiga kali setor simpanan sukarela baru bisa pinjam,” 

Nominal peminjaman juga tergantung berapa besar sumbangan sukarelanya. Disepakati peminjaman maksimal tiga kali besar simpanan sukarela. Misalnya lanjut Santi, simpanan sukarelanya 100 ribu dibulan ke empat maksimal merek bisa pinjam 300 ribu.

Bunganya disepakati tiga persen menurun. “Bunga itu masuknya ke kas. Dalam SHU nanti dibagikan lagi,” jelas Santi.

Bagi YBB pendampingan Perempuan di Sungai Berbari bukanlah kali pertama. Sebelumnya YBB pernah dampingi masyarakat di Desa Perincit, Pelalawan dan Kuala Tolam—untuk tingkatkan kapasitas perempuannya.

“Di desa Sungai Berbari tantangannya tidak terlalu berat jika dibandingkan di Pelalawan. Karena memang sudah maju di sini,”  tegas Santi.

Bulan Maret 2013 program TFCA sudah berakhir di desa Sungai Berbari. Bagi Wati—
yang sudah rasakan manfaat program ini—walau belum sepenuhnya paling tidak 90 persen perempuan di desa Sungai Berbari sudah berpikir terbuka.

Misalnya lanjut Wati dulu ada pandangan hanya suami yang cari uang, sekarang sudah tak begitu lagi. Perempuan sudah mau manfaatkan pekarangan untuk tanam cabai atau sayuran.Tentu ini bisa bantu ekonomi keluarga.

“Harapan saya program TFCA mau nyambung lagi di sini. Bantu kami di sini.” Tutup Wati   

Mati Pagi

Pada warsa yang tak tau kapan. Pada suatu ketika di sebuah pagi. Seperti pagi beribu depak massa lalu. Ada matahari, ada kicau burung dan sepoi angin. Mungkin diksi ini hanya pantas buat anak. Ya, anak kecil ingusan. Atau? Masih orok? Atau? Yang tak pernah sempat dilahirkan. "Ini soal pagi abang, semua orang mengalaminya. Anak kecil atau tua renta sama saja," sang istri meyakinkan.

Suami pun jadi sok yakin. Padahal sudah lama suami tak pernah yakin. Bahkan ia tak yakin pagi sudah tiba. Kali ini ia yakin, yakin atas kata hatinya. Kata hati begini, "Kau bapak, tapi lebih terhormat bapak binatang. Ia buas, tapi tak beringas,"

Apa pula ini. Pagi cerah tetiba mendung. Semua hangat digulung guruh. Hari, tepat 40 hari Warsi mati. Mati, kena lepuk tangan perkasa bapaknya sendiri. Ia masih bocah, baru tiga tahun. Belum nalar. Pagi itu ia nangis sejadi-jadinya, entah apa pasal. Mungkin lapar. Sedari malam cuma dikasih air bening dari tetesan ujan.

Bapak yang perkasa itu masih tidur. Terganggu. Dan melepuk Warsi. Tepat di jantungnya. Jerit tangis mendadak berganti dengan hembusan nafas. Panjang. Panjang sekali. Tapi, cuma sekali. Warsi mati. Terkelapar. Simpul senyumnya membalut kaku wajahnya. Ada memar yang tersisa. Ada darah yang membeku. Ada hujan yang menjemput. Ada bapak yang durjana. Ada emak yang tak tau anaknya mati. Ada tanah merah yang basah.

"Itu bedanya pagi ini istriku, tak semua orang mengalaminya. Aku mendadak jadi durjana. Aku patahkan batang toge yang kusemai dengan tanganku sendiri. Dan...," - sebilah pisau menghujam tepat dijantungnya.

Ada kata yang tak sempat rampung diucapkan, pagi itu. 





Selasa, 10 Desember 2013

Seutas Cerita di Makkasar

Selembar surat undangan datang kemeja redaksi AKLaMASI,  yang datangnya dari lembaga pers kampus (LPM) bernama Identitas. Sebuah LPM di Universitas Hasanudin (Unhas).  Permintaan Peserta Kegiatan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) dengan tema ”Teknik Meliput dan Mengungkap Kasus

Sore itu langit mulai gelap, jam dinding dibandara Sultan Syarif Khasim Pekanbaru telah menunjukan pukul 19:00, perjalananpun dimulai. Setelah sebelumnya transit di bandara Soekarno-Hatta akhirnya kami tiba di bandara Hasanudin Makasar. Jam meunjukan pukul 02:00 waktu setempat (lebih awal satu jam dari Waktu Indonesia Barat).

Diawal cerita yang akan kami ukir di makasar ini diwarnai dengan peristiwa yang sedikit mengusik kenyamanan. Sudah hampir satu jam kami menunggu barang bawaan namun tak kunjung muncul jua dari troli bagasi. Satu travel bag berwarna coklat entah kemana rimbamu. Suasana ruangan mulai sepi, hanya tinggal beberapa orang yang memiliki masalah sama seperti kami. ”Waduh gimana ini? Wah tolong dicari donk saya sudah lama nunggu.” celetuk seorang pria berpakaian loreng (tentara).  ”Barangnya salah masuk pesawat pak, Kemungkinan di Irian Jaya. Tinggalkan nomer handphone dan alamat saja, besok biar kami antar .” itulah sepenggal kalimat mengakhiri penantian panjang diruang pengambilan bagasi.

Panitia PJTLN  terlihat sangat sigap, dua orang sudah siap membawa kami menuju Unhas. Dijalan yang sepi sembari menikmati  pagi menanti fajar menyingsing,  hembusan angin terasa dingin menusuki tulang.

Perjalanan menuju ”markas” Identitas yang terbilang tidak dekat ini menyusuri jalan yang dingin ini menambah perut terasa kosong. Langkah yang harus segera dilaksanakan adalah mencari penjual makanan. Tepat di depan gerbang pintu satu (ada tiga pintu gerbang masuk ke Unhas pintu Nol,pintu satu dan pintu dua) Unhas  kami berhenti disebuah cafe penjual coto makasar.

Agak unik cara menikmati makanann yang satun ini. Semangkuk soto eh –sori coto maksudnya (agak kaku memang menyebut nama makanan yang barusan ini) dinikmati dengan ketupat yang terpisah.Tangan kiri memegang ketupat tangan kanan berperan aktif menyendok coto dari mangkok. Rasanya yang pedas dengan sedikit siraman jeruk nipis menimbulkan rasa khas tersendiri. ”Selain coto daging sapi ada juga coto kuda,” kata Mustafa salah seorang panitia yang menjemput kami.

Usai menyantap semangkuk coto ditemani tiga bungkus ketupat perjalanan kami lanjutkan. Pancaran sinar rembulan terbias dari air danau di kanan kiri jalan universitas tertua di Makasar ini.Seakan menyambut dengan tarian persembahan . Didekat gedung Rektorat tepatnya disamping jalan menuju sekretariat Identitas, tampak sejumlah mahasiswa masih beraktifitas (yang benar saja, sampai dini hari mereka beraktivitas dikampus? Luar biasa). ”Itu anak-anak fakultas Teknik, sedang melakukan persiapan besok pagi ada acara.” terang Mustafa kru Identitas yang tercatat sebagai mahasiswa fakultas hukum. Patut diapresiasi memang.

Semangat kawan-kawan yang kami lihat barusan seakan membangkitkan spirit baru tentang arti sebuah perjuangan mahasiswa . Tapi rasa lelah dan jutaan ton pemberat dimata memaksa kami untuk menyimpan sejenak spirit itu dalam lelapnya tidur.
Korupsi”. Menjawab sepucuk surat ini AKLaMASI mengutus dua kru untuk hadir pada acara yang dilaksanakan 12 sampai dengan 16 Oktober. Mereka Puput Jumantirawan (saya sendiri) dan M.Rafiqi. Lebih lanjut berikut akan kami kabarkan sepenggal cerita dari ”Kota Daeng” Makasar.

Saat aku bangun tidur, matahari sudah menjulang tinggi. Maklumlah terlalu lelah dan penat sangat badan nih. Kawan-kawan Iden begitu mereka menyebut nama Identitas mempersilahkan  untuk sarapan, pastinya setelah selesai cuci muka dong. Ada yang beda dengan tradisi sarapan di sini, kalau orang Riau sarapannya lontong, di sini sarapan pakai nasi kuning.

Kami pun diajak berkeliling kampus. Memasuki gedung perpustakaan yang lumayan mega. Ada pemandangan sedikit berbeda yang kami tangkap. Dilantai teras perpustakaan berkerumun mahasiswa dengan beberapa buah buku dihadapannya. Ada yang terlihat sibuk menulis tugas, menggambar berbagai model kontruksi bangunan ada juga yang sibuk berdiskusi. Sebuah kesibukan intelektual yang terasa kental.

Sementara itu meja-meja dan kursi-kursi terisi penuh oleh mahasiswa yang tengah sibuk bergulat dengan lembaran buku. Bahkan ada pula yang sampai terlelap tidur diantara lembaran buku ditangannya. Disisi lain terdapat setumpuk tas yang menggunung, akibat tidak ada lagi ruang yang tersisa di locker yang disediakan.

Diruang lain tersedia sederet keping VCD dan DVD berisi film dokumenter. Tampak dilayar televisi yang disediakan sebuah film sedang diputar dan mahasiswa menontonnya bersama-sama. Seru memang. Puas berkeliling akhirnya Hidayat Doe redaktur pelaksana Ident meminjam tiga buah buku untuk bahan bacaan.

Sampai pada waktunya pelatihan dimulai. Teman-teman dari berbagai daerah mulai berdatangan sebelumnya hanya ada kami berdua dan satu teman dari Palu bernama Andi. Berdatangan sudah dari Medan, Aceh,Jambi, Banten,Bandung,Solo, Pontianak dan juga dari Makasar sendiri. Teman dari Poso agak terlambat tersebab ada hambatan tanah longsor diperjalanan.

Acara ini dibuka langsung oleh Wali Kota Makasar Ir.Ilham Arif Sirajuddin dan juga dihadiri Pembantu Rektor III Unhas Ir.Nasruddin Salam MS. Dalam sambutannya Nasrudin mengatakan Pers mahasiswa sangat dibutuhkan sebagai obat bagi para pemimpin terutama di Universitas. ”Yang namanya pemimpin tentunya orang dewasa, dan obat bagi orang dewasa tidak ada yang enak pasti obatnya pahit. Dalam hal ini Persma memberikan obat lewat peran kontrol atas kebijakan pimpinan. Itu harus terus berjalan, jangan takut meskipun sebahagian pendanaan Persma berasal dari Univrsitas.” demikian paparnya.

Pelatihan itu sendiri mendatangkan pemateri dari ICW, Dewan pers dan juga Tempo Institute. Banyak pengetahun yang kami dapat terutama dibidang Investigasi. Perencanaan, riset, reportase banyak sekali teknik yang diajarkan untuk melakukan investigasi. Sampai-sampai tidak terasa waktu terasa begitu cepat. Rasanya seperti meneguk air garam, semakin banyak ditelan semakin dahaga tenggorokan.

Disisi lain ada kerinduan yang terobati. Rindu akan kebersamaan. Rinduakan Indonesia yang bukan hanya ada dalam peta nusantara. Disini teman-teman dari daerah berkumpul, dengan bahasa, karakter dan gaya yang berbeda. Kami bergaul, makan, minum berdiskusi bersama. Terasa betul bahwa Indonesia ini berbeda-beda tapi tetap satu. Perbedaan yang tadinya terbayang dibenak laksana jarak pulau jawa dan sumatra ternyata pertemuan menghapuskan paradigma itu. Kita satu dan sangat dekat satu sama lain.

Bhineka tunggal ika  menggema diruang pelatihan ini. Hingga tak sadar kini saatnya agenda terakhir dari rangkaian kegitan PJTLN file trip ke tempat wisata yang ada di Makkasar.

Di kota yang mempunyai visi- menuju kota dunia ini banyak sekali tempat pariwisata. Baik itu wisata air maupun wisata yang lainnya. Sebut saja Pantai losari dan Benteng Rotherdam atau Trans studio. Akan ada juga nantinya Center Point of Indonesia yang akan dibangun untuk mendukung terwujudnya kota dunia.

Bantimurung sebuah taman nasional dan juga tempat wisata air terjun dan juga terdapat dua buah gua, gua batu dan gua mimpi. Berbekal sepeti ikan laut  yang nantinya akan kami panggang dipinggir sungai pagi itu sebuah bus Unhas siap mengantarkan kami.

Menyusuri gua mimpi yang licin menggunakan senter ala kadarnya memberikan tantangan tersendiri. Lelah itulah yang dapat saya katakan setelah menyusuri terowongan bawah tanah sepanjang 800 meter ini. Disini juga dijual sovenir insekta yang diawetkan. Kupu-kupu dan kumbang asli dari kabupaten Maros dimana Bantimurung berada.

Malam harinya menikmati hembusan angin sepoi-sepoi di tepi pantai losari sambil menikmati pisang epe (pisang bakar dengan berbagai rasa). Lumayanlah untuk menghilangkan rasa lelah.

Banyak sebenarnya pesona yang tersimpan dikota Daeng itu. Tapi ya sudahlah pesawat jurusan Makasar-Pekanbaru sudah menanti di Bandara. Ada sejuta kesan dikota itu. Mengiringi perjalanan pulang ada pesan yang masuk ke hape butut saya (ya gak butut-butut kalilah hahaha). ”Hari ini jadi saksi jika kebersamaan kita sela lima hari kemarin sangat memberi arti mendalam. Rasa kehilangan yang begitu besar saat harus pisah dengan kalian dan meninggalkan Makasar. Silaturahmi ini harus tetap terjalin.” sepenggal pesan dari seorang teman.

UU Bantuan Hukum untuk Siapa ?

AWAL mula regulasi pelemAdnan Buyung Nasution bersalaman dengan Susilo Bambang Yudhoyonobagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia adalah  pasal 250 HIR. Mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam  perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup, ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma. Begitu ketentuan dari pasal 250 HIR. Pada tahun 1970 lahirlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, di dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum. Dalam perkembangannya Prof. Zeylemaker pada tahun 1940 mendirikan biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum dengan maksud memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Perkembangan bantuan hukum mulai masuk ke dunia kampus pada tahun 1953 Prof, Ting Swan Tiong di perguruan Tjandra Naya mendirikan Biro Konsultasi Hukum . Berkat usulan Prof, Ting Swan Tiong pada sekitar tahun 1962 berdiri pula Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia.