Naga Sakti dan Sate Kacang di Dosan

Bagaimana tingkatkan ekonomi masyarakat tanpa rusak hutan? Bgaimana mengolah sawit dengan lestari?

Aroma Gagal REDD+ Riau

REDD+ memasuki fase implementasi tahun 2013. Bagaimana posisi masyarakat sekitar hutan? Siapa penikmat manfaat program ini?

Seutas Cerita di Makkasar.

Sebuah catatan perjalanan.

Bunga Bangsa di Tengah Srikandi Berbari

Bagaimana kisah pemberdayaan perempuan desa?

Kamis, 05 November 2015

MEA dan Peran Hipmi Riau

KEMUNCULAN konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebenarnya melewati perjalanan panjang. Sejak 1997 saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur. Saat itu  ada keinginan untuk menciptakan stabilitas dan pembangunan ekonomi  yang merata di kawasan ASEAN.

Konsep ini diperkuat saat KTT ASEAN 2003 di Bali, dengan mendeklarasikan MEA sebagai tujuan integrasi ekonomi regional yang tertuang dalam Bali Concord II. Puncak dari perjalanan panjang itu terjadi tahun 2007 saat KTT ASEAN ke 12  di Cebu, Filipina. Para pemimpin ASEAN menegaskan komitmen kuat untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Ditandai dengan penandatanganan Declaration on Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015.

Sebagai landasan formil bagi negara anggota ASEAN maka disusunlah ASEAN Charter—Piagam ASEAN. Indonesia telah meratifikasi piagam tersebut melalui UU No. 38 tahun 2008 sebagai payung berbagai perjanjian kerjasama di tingkat ASEAN.

Secara singkat konsep MEA menginginkan ASEAN menjadi suatu kawasan dengan aliran barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas. Konsep ini memungkinkan terjadi integrasi ekonomi antar satu negara dengan negara lain lewat mekanisme kerjasama.

Pada akhir tahun ini MEA akan memasuki tahap implementasi. Indonesia tentu saja menjadi negara penting dalam arti sesungguhnya dalam pelaksanaan MEA.Salah satunya karena jumlah penduduknya besar. Secara statistik, 650 juta penduduk di ASEAN, 253 juta berada di Indonesia. Artinya Indonesia memiliki 39 % jumlah penduduk ASEAN.  Tentu menjadi potensi besar baik sebagai produsen maupun menjadi pasar saat MEA diberlakukan.

Seperti yang ditulis dalam Tajuk Rencana Riau Pos, kemarin (8/4) implementasi MEA akan membawa dampak positif dan negatif bagi dunia industri dan perdagangan. Dampak positifnya akan tercipta pasar internasional yang lebih luas. Negatifnya persaingan pasar internasional akan semakin kompetitif.

Frasa ini menunjukan ada kekhawatiran persaingan yang kompetitif akan membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara ASEAN lainnya. Sehingga persaingan kompetitif dipandang sebagai dampak negatif.

Kalau kita mau jujur sebenarnya kekhawatiran tersebut sangatlah wajar. Pada kenyataannya, jumlah penduduk yang besar tidak berbanding lurus dengan perkembangan pengusahanya. Pengusaha Indonesia masih kalah berkembang dibandingkan beberapa negara ASEAN dari segi persentasi jumlah penduduk.

Data BPS tahun lalu mencatat jumlah pengusaha Indonesia hanya 1,65 % dari jumlah penduduk atau setara dengan 44,20 juta orang. Rinciannya sebagai berikut; berusaha sendiri sebanyak 20,32 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap 19,74 juta orang dan berusaha dibantu buruh tetap 4,14 juta orang.

Angka 1,65 % pengusaha Indonesia jauh tertinggal dari Singapura mencapai 7% , Malaysia 5% dan Thailand 3%. Dari deretan persentasi tersebut kalau kita pakai pendekatan ekonomi secara nasional tentu saja Singapura, Malaysia dan Thailand akan lebih berpeluang mendapat manfaat di pasar MEA.

Soal persentasi jumlah pengusaha di Indonesia, Sandiaga Uno meyakini jumlah pengusaha akan meningkat menjadi sekitar lima persen dari populasi Indonesia dalam lima sampai 10 tahun ke depan. Dengan syarat kita bisa menaikkan ease of doing business ke level 50 besar dunia. Menaikan level kemudahan melakukan bisnis di Indonesia bukanlah pekerjaan sederhana. Butuh keinginan politik dari penguasa dan dorongan kuat dari organisasi pengusaha.

Berdasarkan laporan International Finance Corporation (IFC)—anggota dari Grup Bank Dunia—bertajuk doing business 2014yang bertujuan memotret kemudahan berbisnis di suatu negara, Indonesia menempati urutan 120 dunia. Naik delapan tingkat dibanding tahun 2013. Tapi, jika dibandingkan negara ASEAN lain, lagi-lagi Indonesia kalah. Singapura (urutan pertama), Malaysia (urutan keenam), Thailand (urutan 18), Brunei Darussalam (urutan 59), Vietnam (urutan 99) dan Filipina (urutan 108). Butuh solusi konkrit untuk mengejar berbagai ketertinggalan tersebut mengingat MEA tinggal hitungan bulan.

Solusinya saya sepakat dengan Tajuk Rencana Riau Pos. Kita perlu menyiapkan lebih banyak Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Secara nasional  pemerintah pusat sudah punya sekema menumbuhkan UKM lewat Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN).

Di sanalah Peran Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Riau. Sebagai organisasi yang menghimpun pengusaha muda terbesar di Indonesia Hipmi harus mengambil peran tersebut. Dalam konteks lokal tentu saja dalam hal ini Hipmi Riau yang mengambil peran.

Hipmi sendiri lahir di saat paradigma masyarakat memandang remeh profesi pengusaha. Banyak generasi muda lebih memilih menjadi PNS atau TNI/Polri. Saat itu masyarakat menempatkan  pengusaha di strata paling rendah. Namun, saat krisis ekonomi menerpa dibarengi dengan era roformasi pengusaha naik daun. Ditambah, kenyataan bahwa UKM sebagai benteng terakhir ekonomi Indonesia yang nyaris lumpuh saat itu. Semangat berwirausaha kian tumbuh.

Pasca krisis ekonomi itu pula Hipmi di tuntut merubah haluan visi dan misi organisasi. Hipmi senantiasa menyeseuaikan diri dengan paradigma baru dengan menjadikan UKM sebagai pilar utama dan lokomotif pembangunan ekonomi nasional.

Sudah tepatlah, Hipmi Riau menyuburkan dan menumbuhkan UKM di Riau sebagai prioritas kerja. Selama kepemimpinan Ahmi Septari—CEO Septa Group— sebagai Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Hipmi Riau sudah ada beberapa langkah yang dilakukan. Baik dalam upaya menyuburkan maupun menumbuhkan UKM di Riau.

Salah satunya upaya mengatasi permodalan bagi pengusaha muda. Keluhan pertama dirasakan calon pengusaha selama ini adalah modal. Hipmi Riau coba menjembatani dengan meminta dukungan lembaga jasa keuangan. PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER) dan PT Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) pernah dimintai dukungan. Namun, hingga saat ini belum membuahkan hasil yang signifikan dalam bentuk dukungan jaminan kredit.

Selain itu lewat program One Intwenty Movement yang dilaksanakan bersama komunitas Smart Preneur di Pekanbaru, Hipmi Riau coba melakukan penguatan UKM. Konsepnya Hipmi akan merekrut para pebisnis muda untuk dilatih lalu dijadikan pembimbing bagi para pelaku usaha lainnya. Untuk kemudian diseleksi, dan dipilih 1 pengusaha terbaik dibidangnya. Upaya ini pun belum membuahkan hasil dan hingga kini tidak jelas tindak lanjutnya.

Kalau Hipmi Riau hendak menumbuh suburkan UKM, butuh energi lebih besar lagi memang. Langkah pertama konsolidasi internal harus dilakukan sesegera mungkin. Tujuannya stabilitas internal segera tercipta sehingga segenap pengurus dapat kembali fokus pada agenda organisasi.

Saat ini isu reshuffel di tubuh BPD Hipmi Riau sedang merebak. Saya sebagai kader muda sangat mendukung jika memang reshuffel dilaksanakan. Semakin cepat dilaksanakan artinya semakin cepat pula ada konsolidasi. MEA di depan mata dan kita harus berbuat.

Tindakan konkrit yang dapat dilakukan Hipmi selanjutnya dalam menghadapi MEA adalah melahirkan 100 pengusaha baru per tahun. Angka tersebut tidaklah sulit dicapai jika potensi kader muda dioptimalkan dan sinergi antar pengurus BPD tercipta. Semoga Hipmi Riau mampu.












*tulisan ini pernah dimuat di kolom opini Riau Pos

Jumat, 10 April 2015

Melihat Potensi Ekowisata Riau

SAAT libur panjang banyak masyarakat Riau memilih berlibur ke luar provinsi, Sumbar misalnya. Seolah-olah di Riau benar-benar tidak ada objek wisata yang menarik. Selain udara dingin Riau punya ‘mutiara hitam’ yang masih terpendam. Ia berada di Hutan.

Hutan Riau sangat potensial sebagai kawasan ekowisata. Misalnya, kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling. Letaknya berada di dua kabupaten, Kampar dan Kuantan Singingi.

Di salah satu sisi Bukit Rimbang-Baling ada objek wisata air terjun bernama batu dinding, ke sanalah saya pergi Maret lalu. Menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Pekanbaru akhirnya sampai juga di desa Tanjung Belit—desa terdekat dari batu dinding—letaknya berada di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar.

Sebelum sampai desa ada jalan menukik tajam, kanan kirinya berdiri pohon beringin besar. Akarnya menjuntai seakan menyambut pendatang. Di sebelah kiri jalan menukik itu, tepat di bawah pohon beringin besar ada goa tertutup semak-semak. “Sayang ya, goanya gak diurus,” kata Wawan teman perjalanan saya.

Di desa pohon kelapa banyak tumbuh tak beraturan. Di mana tempat ada. Samping lapangan bola, belakang rumah, depan rumah, samping mesjid pohon kelapa tumbuh bebas. Beberapa kerbau tampak sibuk makan rumput di bawahnya.

Pemandangan begini tentu saja tidak ada di Kota Pekanbaru. Sore itu kami istirahat sejenak di rumah kepala desa. Lalu menuju ke lokasi berkemah di sebuah delta sungai Subayang. Dikelilingi bukit-bukit kawasan Bukit Rimbang-Baling membuat lokasi ini seperti  ada di lembah. Lembah yang dilapisi rumput hijau.

Lokasi perkemahan itu berada di kawasan lubuk larangan. Masyarakat punya komitmen untuk tidak mengambil ikan pada kurun waktu tertentu di lubuk larangan. Walau banyak ikannya, siapa pun tidak boleh mengambil dari lubuk larangan. Ada dua lubuk larangan di sepanjang sungai Subayang, satunya lagi berada tak jauh dari batu dinding.

Menurut kepercayaan mereka siapa yang berani melanggar akan menerima akibat buruk. Seperti perutnya membesar dan sebagainya. Terlepas dari kepercayaan berbau supranatural itu, poin pentingnya tentu saja komitmen bersama menjaga keseimbangan alam. Wajar saja di lubuk larangan menjadi lubuk ikan, sebab ia tidak diambil setiap hari. Kalau sudah masa memanen mereka bisa dapat berton-ton ikan. Pesta kecil pun digelar dengan makan bersama di tepi lubuk larangan. Orang luar boleh ikut gabung. Ini menjadi salah satu kearifan lokal dalam melestarikan alam. Barang kali di Riau hanya di sini yang masyarakatnya punya tradisi lubuk larangan.

Malam itu 11 orang dari kami nyaris tidak tidur. Menikmati cahaya bulan di tepi sungai tentu hal yang langkah di Pekanbaru. Apa lagi ditemani kerbau-kerbau sibuk makan rumput.

Paginya, kami menuju batu dinding dengan mengendarai perahu bermotor. Udaranya sangat segar. Air sungainya pun cukup jernih. Kanan kiri dipenuhi pepohonan. Ada satu dua batang  seukuran pelukan orang dewasa. Cukup terjaga hutannya  begitu kesan yang saya tangkap.

Perahu terus melaju membelah air sungai Subayang di ekor perahu tampak gelombang ombak menjauh dan menepi. Sesekali kami berayun saat berpapasan dengan perahu dari arah berlawanan. Gelombang dari perahu itulah penyebabnya.

Sekira 15 menit perjalanan sampailah sudah. Kami menepi di depan sebuah gamping berbentuk dinding. Inilah yang mereka sebut batu dinding. Tingginya mungkin sekitar  50 meter.

Untuk mencapai air terjun kita harus menyusuri bukit di belakang batu dinding tersebut. Ada jalan setapak mendaki dan menurun harus dilewati. Menyebrang sungai kecil. Melompati bebatuan, sesekali harus berpegangan pohon agar tidak terjatuh. Cukup menguras tenaga memang.

Perlu waktu sekitar 20 menit berjalan kaki dan akhirnya air terjun berada di depan mata. Air dari atas membanting bebas di tampung oleh hamparan kolam tempat pengunjung mandi-mandi. Airnya dingin. Dengan ragu-ragu kami nyemplung ke air. “Berrr… segar”

Terbayar sudah lelahnya perjalanan mendaki bukit. Ternyata makin siang pengunjungnya makin banyak. Ada tong sampah dari drum bekas yang sudah tak mampu menampung sampah dari pengunjung.

Objek wisata batu dinding ini dikelola oleh Kelompok Kerja (Pokja) Batu Dinding. Anggotanya masyarakat lokal sekitar kawasan. Mereka jugalah yang mengurusi sampah-sampah di sana.

Begitulah salah satu gambaran potensi ekowisata  yang dimiliki Riau. Kenapa tidak dikembangkan secara serius? Perlu menjadi catatan bersama bahwa batu dinding masih memerlukan sebuah sistem pengelolaan lebih baik. Kalau dirinci potensinya, ada goa, tempat berkemah, kearifan lokal lubuk larangan, hutan dan sungai, air terjun, air selancar dan keanekaragaman hayati. Sederet potensi tersebut tentu saja sangat besar untuk menjadikannya objek wisata primadona di Riau. Di dalam kawasan MS Bukit Rimbang-Baling sendiri ada 20 air terjun bahkan ada yang tingginya sampai 100 meter. Tidak terbantahkan ini sebuah potensi layak jual.

Selain di SM Bukit Rimbang-Baling, Riau masih punya potensi ekowisata lainnya. Sebut saja Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Hamparan hutan, pusat pelatihan gajah, jalur sungai, track pejalan kaki di dalam hutan, dan yang terbaru akan ada track bersepeda sepanjang tiga kilo meter.

Kalau saja semua potensi yang ada dikelola dengan baik pastilah pariwisata Riau akan sangat maju. Kuncinya ada di pengembangan ekowisata.

Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata berwawasan lingkungan. Secara umum pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Keterlibatan masyarakat lokal menjadi sebuah keharusan.

Konsep ini sebenarnya sudah diterapkan dengan cukup baik di TNTN. Ada sebuah kelompok bernama Kelompok Masyarakat Pecinta Pariwisata (Kempas) TNTN. Sama seperti Pokja Batu Dinding anggotanya juga masyarakat lokal. Di TNTN managemannya sudah lebih baik.

“Tahun lalu pengunjung dari luar negri cukup banyak. Begitu juga pengunjung domestik. Kalau diakumulasi jumlahnya mencapai ribuan,” kata Ketua Kempas, Tengku Marlin. Dia berharap, pemerintah punya inisiatif untuk mendukung kemajuan pariwisata di TNTN.

Marlin cerita, keberadaan ekowisata di TNTN member kontribusi langsung pada masyarakat sekitar. Misalnya lanjutnya, saat ini sudah ada lima kelompok tukang masak yang dibayar untuk melayani makan pengunjung. Lima kelompok tersebut dirotasi agar semua kebagian.

“Kita memang belum semaju seperti di Tangkahan, Sumatera Utara. Kalau mereka pengelolanya minimal perbulan sudah berpenghasilan Rp3 juta. Tapi, kalau terus di kembangkan bukan tidak mungkin kita bisa sama dengan mereka,” kata Marlin.

Saya menyimpulkan kalau ekowisata ini dikelola dengan serius secara nyata dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.  Imbasnya, ketika masyarakat mendapat keuntungan maka, akan muncul upaya untuk melindungi hutannya dengan lebih serius. Tentu saja itu akan sangat menguntungkan bagi gerakan pelestarian alam.

Saat ini hutan Riau mengalami kerusakan cukup berat. Penghujung tahun 2013 saja Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) merilis selama tahun 2012-2013, ada 252,172 hektar hutan alam dihancurkan. Menurut perhitungan waktu itu sisa hutan alam sekira 1,7 juta hektar atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau 8,9 juta hektar.

Kondisi ini tentu saja tidak dapat dibiarkan. Laju defortasi diperparah dengan kebakaran hutan sepanjang tahun dan kebutuhan industry Pulp and Paper. Secara kasat mata ada tata kelola kehutanan yang salah. Korupsi kehutanan salah satu buktinya. Sudah berapa kepala daerah yang terbukti bersalah. Mulai Azmun Jafar (mantan Bupati Pelalawan) hingga Rusli Zainal (mantan Gubernur Riau).

Keterlibatan kontrol sosial sangat dibutuhkan untuk melindungi tutupan hutan yang tersisa. Mendorong antusias masyarakatan terhadap ekowisata di sekitar hutan akan membuat munculnya perhatian publik terhadap hutan.

Saya pikir ekowisata solusi kongkrit bagi perkembangan pariwisata dan pelestarian alam di Riau.

Selasa, 07 April 2015

Islam dan Jurnalisme

Kementrian Komunikasi dan Informatika resmi memblokir 19-22 situs Islam.  Pada kenyataannya tindakan tersebut menuai kecaman dari banyak pihak. Pemberantasan radikalisme sebagai pangkalnya dan pemblokiran situs web ujungnya.

Pernyataan Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemkominfo, Ismail Cawidu sangat mencengangkan. “Kominfo tidak meneliti apakah radikal atau tidak. Kami hanya meneruskan apa yang direkomendasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” demikian penjelasan Cawidu. Bagaimana mungkin memblokir situs tanpa verifikasi?

Kementrian terlalu berani melakukan pemblokiran tanpa mengetahui apakah situs-situs tersebut memang menyebarkan paham radikalisme. Arogansi Kemkominfo sangat jelas terlihat. Sebuah tindakan yang tidak bertanggungjawab telah terjadi.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla menegur tindakan ini, Ia meminta kriteria khusus untuk menyimpulkan konten yang mengandung radikalisme. Gunanya untuk mencegah pemblokiran tanpa analisis tepat. JK meminta mengkaji ulang rekomendasi  BNPT tersebut. Ditanggapi Mentri Kominfo, Rudi Antara dengan membentuk tim panel untuk mengkaji pemblokiran situs tersebut. Tim ini terdiri dari tiga tokoh senior, Bagir Manan, Salahuddin Wahid dan Din Syamsuddin.

Namun nampaknya tindakan Kemkominfo membentuk tim panel tidak mengurangi sedikit pun arogansinya. Buktinya hingga sekarang situs-situs yang diblokir tetap belum dapat diakses. Kenapa tidak menunggu hasil kajian tim panel dahulu selesai baru melakukan tindakan?

Kominfo bahkan menegaskan tidak tahu hingga kapan pemblokiran akan dilakukan. Semua tergantung lampu hijau dari BNPT. BNPT sangat superior.

Kalau kita tapak sejarahnya, BNPT terbentuk bermula dari kejadian bom Bali 2002 lalu. Awalnya dibentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Tugasnya membantu Menko Bidang Politik dan Keamanan merumuskan kebijakan bagi pemberantasan terorisme. Berdasarkan rekomdasi DPR akhirnya DKPT dirubah menjadi BNPT. Kewenangannya jauh lebih besar, BNPT berwenang secara operasional melaksanakan tugas pemberantasan terorisme.

Apa pun alasannya praktek pembungkaman terhadap pers sebenarnya sudah harus dihilangkan di bumi Indonesia sejak lahirnya UU Pers dengan alasan apa pun. Kita punya trauma sejarah cukup panjang terhadap praktek pembungkaman pers oleh penguasa. Di masa Orba dikenal istilah bredel. Perbuatan tersebut melanggar kebebasan pers seperti tertuang di pasal 4 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Pada akhirnya kita harus berpikir cara adil dalam pemberantasan terorisme di Indonesia. Perlu disadari, sejak George W. Bush mengobarkan kampanye “war on terror,” banyak umat Islam menjadi korban secara psikologi. Label kejam terhadap Islam tentu saja harus dihilangkan. Justifikasi lewat pemblokiran situs web secara sepihak akan menambah trauma pisikologi.

Saya berpikir ada dua solusi yang dapat dilakukan dalam kasus ini. Pertama, terkait tindakan pemerintah terhadap situs diduga penyebar paham radikalisme. Langkah pemblokiran tanpa proses hukum tidaklah tepat. Ada banyak perangkat regulasi lebih tinggi mulai dari UUD hingga UU Pers menjamin kemerdekaan pers. Kalau pemerintah melakukan pemblokiran hanya berdasarkan Permen Kominfo No. 19 tahun 2014 tentang penanganan situs internet bermuatan negatif, tentu dasar hukumnya sangat lemah. Apa lagi saat ini Permen itu sedang diuji di MK.

Cara paling adil kalau pemerintah hendak melakukan pemblokiran dengan alasan pencegahan radikalisme harus melalui proses peradilan. Pihak tergugat harus punya kesempatan melakukan klarifikasi bahkan pembelaan dan penggugat harus mampu membuktikan tuduhannya di persidangan. Jangan main vonis sepihak saja seperti sekarang.

Solusi kedua, terkait bagaimana harusnya penerapan jurnalisme oleh media Islam itu sendiri. Selain kritik terhadap arogansi pemerintah saya juga akan mengajak berpikir ulang tentang konsep jurnalisme yang diterapkan banyak media Islam di Indonesia. Mereka menyebutnya dengan Jurnalisme Islam. Jurnalisme seperti apa ini sebenarnya?

Dalam buku Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam (Rosdakarya, 2003) disebutkan ;”… Jurnalisme Islam sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam. Dapat juga dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai- nilai Islam,”

Secara tegas Andreas Harsono dalam bukunya A9ama Saya Jurnalisme, menyebut apa bedanya dengan propaganda?

“Kalau suatu jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain, entah itu fasisme, komunisme, kapitalisme atau agama apapun, definisi yang lebih tepat, saya kira, adalah propaganda,” jelas Andreas.
Propaganda adalah suatu peliputan, penulisan serta penyajian informasi dimana fakta-fakta itu disajikan, termasuk ditekan dan diperkuat pada bagian tertentu, agar selaras dengan kepentingan ideologi atau kekuasaan yang memanipulasi komunikasi tersebut.

Praktek begini tentu harus ditinggalkan. Pada akhirnya ketakutan menjadi nyata bahwa menyamakan antara dakwah atau propaganda dengan jurnalisme akan menimbulkan kebingungan serius dan daya rusak besar. Hal itu sudah dihadapan kita. Pengertian jurnalisme menjadi absurd ketika ia diboncengi dengan sebuah tendensi. Hasilnya akan melahirkan, bias agama, bias golongan dan sebagainya.

Hingga kini saya kira belum ada satu metode jurnalisme pun yang menandingi Sembilan Eleman Jurnalisme hasil riset mendalam Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.  Dalam bukunya disebutkan jurnalisme hanya menggunakan patokan kebenaran fungsional dalam prakteknya. Bukan pada kebenaran filosofi, sebab kalau kebenaran filosofi yang dipakai pasti akan terjadi debat tak berujung.

Islam punya kebenaran versinya sendiri, Kristen juga begitu lalu kebenaran mana yang akan dipakai? Bakalan rumit sekali kalau kebenaran agama dipakai sebagai metode jurnalisme.

Kebenaran fungsional mengharuskan jurnalisme dijalankan dengan disiplin pada metode jurnalisme, bukan pada metode dakwah atau propaganda. Pembeda jurnalisme dari apa pun adalah disiplin verifikasi.
Dalam kasus pemblokiran situs Islami walaupun ikut menentang pemblokiran, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai situs-situs Islam yang diblokir tidak memuat karya jurnalistik. Sebab materi yang dimuat tidak memenuhi kaidah jurnalistik.

“Itu kan saya lihat mereka mengutip Alquran misalnya. Tapi tidak ada cover both side. Itu tidak memenuhi unsur-unsur jurnalistik,” ujar Kepala Bidang Hubungan Eksternal AJI, Eko Maryadi.

Dari pernyataan ini mungkin saya harus katakan, berhentilah melabeli jurnalisme dengan embel-embel Islam. Sebab akan berakibat buruk pada jurnalisme maupun pada Islam itu sendiri.  Meminjam bahasa Andreas, apakah kalau seorang wartawan pakai label "jurnalisme Islami," maka otomatis tingkah-lakunya jadi beres, suci dan bebas dosa? Emangnya dia dijamin takkan terima amplop? Emangnya dia dijamin takkan masuk tim sukses para politisi?

Jadi, dengan kejadian ini media Islam harusnya dapat berbenah dalam penerapan metode jurnalismenya. Jurnalisme harus murni dari opini dan propaganda. Islam yes, Jurnalisme Islam no.***