Naga Sakti dan Sate Kacang di Dosan

Bagaimana tingkatkan ekonomi masyarakat tanpa rusak hutan? Bgaimana mengolah sawit dengan lestari?

Aroma Gagal REDD+ Riau

REDD+ memasuki fase implementasi tahun 2013. Bagaimana posisi masyarakat sekitar hutan? Siapa penikmat manfaat program ini?

Seutas Cerita di Makkasar.

Sebuah catatan perjalanan.

Bunga Bangsa di Tengah Srikandi Berbari

Bagaimana kisah pemberdayaan perempuan desa?

Kamis, 05 November 2015

MEA dan Peran Hipmi Riau

KEMUNCULAN konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebenarnya melewati perjalanan panjang. Sejak 1997 saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur. Saat itu  ada keinginan untuk menciptakan stabilitas dan pembangunan ekonomi  yang merata di kawasan ASEAN.

Konsep ini diperkuat saat KTT ASEAN 2003 di Bali, dengan mendeklarasikan MEA sebagai tujuan integrasi ekonomi regional yang tertuang dalam Bali Concord II. Puncak dari perjalanan panjang itu terjadi tahun 2007 saat KTT ASEAN ke 12  di Cebu, Filipina. Para pemimpin ASEAN menegaskan komitmen kuat untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Ditandai dengan penandatanganan Declaration on Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015.

Sebagai landasan formil bagi negara anggota ASEAN maka disusunlah ASEAN Charter—Piagam ASEAN. Indonesia telah meratifikasi piagam tersebut melalui UU No. 38 tahun 2008 sebagai payung berbagai perjanjian kerjasama di tingkat ASEAN.

Secara singkat konsep MEA menginginkan ASEAN menjadi suatu kawasan dengan aliran barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas. Konsep ini memungkinkan terjadi integrasi ekonomi antar satu negara dengan negara lain lewat mekanisme kerjasama.

Pada akhir tahun ini MEA akan memasuki tahap implementasi. Indonesia tentu saja menjadi negara penting dalam arti sesungguhnya dalam pelaksanaan MEA.Salah satunya karena jumlah penduduknya besar. Secara statistik, 650 juta penduduk di ASEAN, 253 juta berada di Indonesia. Artinya Indonesia memiliki 39 % jumlah penduduk ASEAN.  Tentu menjadi potensi besar baik sebagai produsen maupun menjadi pasar saat MEA diberlakukan.

Seperti yang ditulis dalam Tajuk Rencana Riau Pos, kemarin (8/4) implementasi MEA akan membawa dampak positif dan negatif bagi dunia industri dan perdagangan. Dampak positifnya akan tercipta pasar internasional yang lebih luas. Negatifnya persaingan pasar internasional akan semakin kompetitif.

Frasa ini menunjukan ada kekhawatiran persaingan yang kompetitif akan membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara ASEAN lainnya. Sehingga persaingan kompetitif dipandang sebagai dampak negatif.

Kalau kita mau jujur sebenarnya kekhawatiran tersebut sangatlah wajar. Pada kenyataannya, jumlah penduduk yang besar tidak berbanding lurus dengan perkembangan pengusahanya. Pengusaha Indonesia masih kalah berkembang dibandingkan beberapa negara ASEAN dari segi persentasi jumlah penduduk.

Data BPS tahun lalu mencatat jumlah pengusaha Indonesia hanya 1,65 % dari jumlah penduduk atau setara dengan 44,20 juta orang. Rinciannya sebagai berikut; berusaha sendiri sebanyak 20,32 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap 19,74 juta orang dan berusaha dibantu buruh tetap 4,14 juta orang.

Angka 1,65 % pengusaha Indonesia jauh tertinggal dari Singapura mencapai 7% , Malaysia 5% dan Thailand 3%. Dari deretan persentasi tersebut kalau kita pakai pendekatan ekonomi secara nasional tentu saja Singapura, Malaysia dan Thailand akan lebih berpeluang mendapat manfaat di pasar MEA.

Soal persentasi jumlah pengusaha di Indonesia, Sandiaga Uno meyakini jumlah pengusaha akan meningkat menjadi sekitar lima persen dari populasi Indonesia dalam lima sampai 10 tahun ke depan. Dengan syarat kita bisa menaikkan ease of doing business ke level 50 besar dunia. Menaikan level kemudahan melakukan bisnis di Indonesia bukanlah pekerjaan sederhana. Butuh keinginan politik dari penguasa dan dorongan kuat dari organisasi pengusaha.

Berdasarkan laporan International Finance Corporation (IFC)—anggota dari Grup Bank Dunia—bertajuk doing business 2014yang bertujuan memotret kemudahan berbisnis di suatu negara, Indonesia menempati urutan 120 dunia. Naik delapan tingkat dibanding tahun 2013. Tapi, jika dibandingkan negara ASEAN lain, lagi-lagi Indonesia kalah. Singapura (urutan pertama), Malaysia (urutan keenam), Thailand (urutan 18), Brunei Darussalam (urutan 59), Vietnam (urutan 99) dan Filipina (urutan 108). Butuh solusi konkrit untuk mengejar berbagai ketertinggalan tersebut mengingat MEA tinggal hitungan bulan.

Solusinya saya sepakat dengan Tajuk Rencana Riau Pos. Kita perlu menyiapkan lebih banyak Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Secara nasional  pemerintah pusat sudah punya sekema menumbuhkan UKM lewat Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN).

Di sanalah Peran Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Riau. Sebagai organisasi yang menghimpun pengusaha muda terbesar di Indonesia Hipmi harus mengambil peran tersebut. Dalam konteks lokal tentu saja dalam hal ini Hipmi Riau yang mengambil peran.

Hipmi sendiri lahir di saat paradigma masyarakat memandang remeh profesi pengusaha. Banyak generasi muda lebih memilih menjadi PNS atau TNI/Polri. Saat itu masyarakat menempatkan  pengusaha di strata paling rendah. Namun, saat krisis ekonomi menerpa dibarengi dengan era roformasi pengusaha naik daun. Ditambah, kenyataan bahwa UKM sebagai benteng terakhir ekonomi Indonesia yang nyaris lumpuh saat itu. Semangat berwirausaha kian tumbuh.

Pasca krisis ekonomi itu pula Hipmi di tuntut merubah haluan visi dan misi organisasi. Hipmi senantiasa menyeseuaikan diri dengan paradigma baru dengan menjadikan UKM sebagai pilar utama dan lokomotif pembangunan ekonomi nasional.

Sudah tepatlah, Hipmi Riau menyuburkan dan menumbuhkan UKM di Riau sebagai prioritas kerja. Selama kepemimpinan Ahmi Septari—CEO Septa Group— sebagai Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Hipmi Riau sudah ada beberapa langkah yang dilakukan. Baik dalam upaya menyuburkan maupun menumbuhkan UKM di Riau.

Salah satunya upaya mengatasi permodalan bagi pengusaha muda. Keluhan pertama dirasakan calon pengusaha selama ini adalah modal. Hipmi Riau coba menjembatani dengan meminta dukungan lembaga jasa keuangan. PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER) dan PT Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) pernah dimintai dukungan. Namun, hingga saat ini belum membuahkan hasil yang signifikan dalam bentuk dukungan jaminan kredit.

Selain itu lewat program One Intwenty Movement yang dilaksanakan bersama komunitas Smart Preneur di Pekanbaru, Hipmi Riau coba melakukan penguatan UKM. Konsepnya Hipmi akan merekrut para pebisnis muda untuk dilatih lalu dijadikan pembimbing bagi para pelaku usaha lainnya. Untuk kemudian diseleksi, dan dipilih 1 pengusaha terbaik dibidangnya. Upaya ini pun belum membuahkan hasil dan hingga kini tidak jelas tindak lanjutnya.

Kalau Hipmi Riau hendak menumbuh suburkan UKM, butuh energi lebih besar lagi memang. Langkah pertama konsolidasi internal harus dilakukan sesegera mungkin. Tujuannya stabilitas internal segera tercipta sehingga segenap pengurus dapat kembali fokus pada agenda organisasi.

Saat ini isu reshuffel di tubuh BPD Hipmi Riau sedang merebak. Saya sebagai kader muda sangat mendukung jika memang reshuffel dilaksanakan. Semakin cepat dilaksanakan artinya semakin cepat pula ada konsolidasi. MEA di depan mata dan kita harus berbuat.

Tindakan konkrit yang dapat dilakukan Hipmi selanjutnya dalam menghadapi MEA adalah melahirkan 100 pengusaha baru per tahun. Angka tersebut tidaklah sulit dicapai jika potensi kader muda dioptimalkan dan sinergi antar pengurus BPD tercipta. Semoga Hipmi Riau mampu.












*tulisan ini pernah dimuat di kolom opini Riau Pos