Selasa, 19 Februari 2013

Aroma Gagal REDD+ Riau

Oleh  Puput Jumantirawan

REDD+ memasuki fase implementasi tahun 2013. Bagaimana posisi masyarakat sekitar hutan? Siapa penikmat manfaat program ini?

MEDIO JUNI 2012 Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau ( JIKALAHARI) gelar Konferensi Pers. Paparkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Huta Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) PT Gemilang Cipta Nusantara (PT GCN) di Pelalawan. Muslim Rasyid Koordinator Jikalahari jelaskan duduk persoalannya. Jikalahari temukan kejanggalan proses perizinan PT GCN. Usulan Hutan Desa untuk Jasa Lingkungan dan Perlindungan dari Desa Sirawaegemai dan Serapung yang lebih dulu diajukan disalip PT GCN.

Usulannya sama-sama berada di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tasik Besar Serkap. Disebut juga kawasan Semenanjung Kampar. Berada di dua kabupaten;Pelalawan dan Siak. Kawasan ini salah satu Pilot Projek sekenario Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) Riau.

Selain KPH Tasik Besar Serkap ada kawasan lain yang disiapkan untuk projek REDD+ di Riau; Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu,Taman Nasional Zamrud, Kolaborasi Manageman Konservasi Harimau, Hutan Adat Rumbio, Hutan Wisata Buluh Cina, Tahura Sultan Syarif Hasym dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Pertanyaannya siapa penerima manfaat sekema REDD+ di Riau kalau masyarakat tak dapat hak kelola hutan?



“Padahal, salah satu tujuan REDD+ alokasi hak kelola hutan untuk masyarakat sekitar hutan,” kata Muslim.

Ceritanya, Oktober 2010 Kepala Desa Segemai dan Serapung ajukan usulan hutan desa. Masing-masing luas usulannya 7.532 dan 2.317 Hektar (Ha). Usulan hutan desa ditujukan pada Kementrian Kehutanan juga Bupati Pelalawan. Tapi, kementrian sarankan agar usulan disampaikan ke Bupati saja, biar bupati yang nanti menyurati kementrian. Proses berjalan. Perwakilan dua desa menyampaikan langsung ke Bupati. Saat itu diterima oleh Asisten I dan Kepala Dinas Kehutanan Pelalawan.

Di lain pihak selang satu bulan, PT GCN ikut ajukan permohonan IUPHHK-RE seluas 19.674 Ha. Tapi, Januari 2011 permohonan PT GCN ditolak Mentri Kehutanan. Penolakan Menhut ini tertuang dalam Surat No : S.44/VI-BUHA/2011.

PT GCN merupakan anak perusahaan PT RAPP. Baru berdiri tahun 2010. Dan berkedudukan di Jakarta.

Saat perizinan PT GCN dikembalikan ke daerah justru Bupati Pelalawan, H M Harris beri rekomendasi. Tepat 14 hari usai Harris dilantik jadi Bupati Pelalawan. “Ini terlalu cepat untuk mengambil keputusan. Bermain disini mungkin pertimbangan teknis dari instansi terkait. Sehingga bupati berani ambil keputusan itu,” kata Muslim.

Saat izin PT GCN berjalan lancar bak di jalan tol, usulan desa Segemai dan Serapung sempat terkatung. Kendati Dirjen Bina Usaha Kehutanan (BUK) sudah keluarkan surat dukungan.

Baru dapat titik terang pada Juni. Bupati keluarkan surat ke Menteri Kehutanan, perihal usulan penetapan Hutan Desa. Itupun tak sesuai harapan. Harris hanya beri rekomendasi masing-masing desa 2 ribu hektar. Padahal di KPH ini telah dicadangkan areal untuk Hutan Desa. Luas areal pecadangan juga sudah jelas.

Tersebab rekomendasi bupati yang hanya beri 2 ribu hektar, Kepala Desa Segemai meminta Kementerian Kehutanan mengklarifikasi luas areal cadangan. Kementrian balas surat itu. Isinya penjelasan soal areal yang dicadangkan. Ada untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) seluas 59.593 ha. Untuk UPHHK-RE seluas 538.646 ha. Dan Hutan Desa seluas 12.360 ha.

Pada lampiran Kepmenhut No.4234/MENHUT-VI/BRPUK/2011,juga jelas bahwa lokasi yang dicadangkan merupakan lokasi yang diusulkan oleh masyarakat Desa Serapung dan Segamai. Selain Desa Segemai dan Serapung dua desa lainnya—Pulau Muda dan Kelurahan Teluk Meranti coba ajukan Hutan Desa pula.

Ternyata—nasibnya lebih malang lagi. Pemerintah Kabupaten Pelalawan membalas usulan dengan sepucuk surat. “Bersama ini disampaikan bahwa areal yang dimohon saudara telah kami rekomendasikan untuk pecadangan IUPHHK-RE atas nama PT GCN... Demikian untuk dimaklumi,” begitu sepenggal isi surat yang ditandatangani Harris.

Usulan keduaya ditolak sama sekali. Keduanya tidak mendapat rekomendasi Bupati sejengkal-pun. Proses penolakan dilakukan sangat cepat. Kontras sekali dengan usulan PT GCN yang secepat kilat mendapat rekomendasi. Hanya butuh 12 hari kerja untuk menolak usulan masyarakat Desa Pulau Muda dan Kelurahan Teluk Meranti.

Harris menolak— lantaran sudah dicadangkankan pada PT GCN. Padahal di lampiran Kepmenhut No.4234/MENHUT-VI/BRPUK/2011 usulan yang diajukan desa Pulau Muda masuk areal yang dicadangkan untuk Hutan Desa. Seperti halnya areal usulan desa Pulau Muda dan Kelurahan Teluk Meranti.

Terkait persoalan tersebut, Muslim jelaskan Jikalahari mendorong masyarakat mengajukan ulang langsung ke Menhut. Sambil berupaya agar Menhut tidak melanjutkan proses perizinan PT GCN.

“Kalau ini diteruskan berarti mengangkangi Keputusan Menhut. Didalamnya ada Peta Indikatif pemanfaatan kawasan hutan. Ada ruang untuk masyarakat kelola hutan. Jangan dirampok lagi,” tegas Muslim.

Menurutnya dari sekitar 12 ribu yang dicadangkan untuk masyarakat, 70 persen kawasan diberikan untuk kepentingan industri kertas dan perkebunan kayu.

“Ini mengindikasi modus kejahatan korporasi kehutanan masih berjalan hingga detik ini di Pelalawan, pemerintah tidak lagi berpihak pada masyarakat sekitar hutan untuk mengelola hak hutannya,” katanya. Selain pemerintah yang tak berpihak pada masyarakat, Jikalahari indikasikan perusahaan melakukan greenwashing. “Ada indikasi kuat, REDD+ hanya dijadikan greenwashing oleh PT RAPP. Seolah-olah dengan melakukan RE, mereka telah menyelamatkan hutan Riau. Padahal selama ini PT RAPP salah satu perusahaan perusak hutan di Riau,”tegas Muslim.

Kini Perizinan yang diajukan PT GCN sudah sampai Kementrian Kehutanan. Tinggal tunggu izin keluar.

Kalau izin PT GCN keluar Muslim katakan akan berdampak terhadap program REDD di Riau. “Yang diuntungkan perusahaan,meskipun kayunya tidak ditebang,” jelas Muslim. Bicara bisnis carbon lanjutnya yang sangat diuntungkan adalah penguasa lahan. Penguasa lahan dibuktikan dengan legalitas izin yang dimiliki atas lahan tersebut. Kalau itu dikuasai perusahaan, begitu bisnis karbon jalan otomatis dia penikmat utama perdagangannya.

“Dampaknya kesitu. Penikmat utama dan penguasaan lahan akhirnya mereka juga. Baik ditebang atau tidak ditebang tetap saja masyarakat tidak dapat manfaat,” terangnya.

SEMENTARA ITU REDD+ tahun 2013 sudah masuk fase implementasi. Di Riau ada dua yang akan segera direalisasikan; TNTN olehWorld Wildlife Fund (WWF),sifatnya voulentry. Dan Pilot Projek kerjasama RI-Korea Selatan.

Menindak lanjuti kerjasama itu, perwakilan Korea Selatan pernah datang ke Riau, sebagai pihak yang akan biayai program REDD+. Saat pertemuan, sekaligus digelar sosialisasi KPH Model Tasik Besar Serkap. Di sinilah Pilot Projek Program kerjasama RI-Korea Selatan akan dilaksanakan. Korea Selatan akan kucurkan dana 3 juta USD untuk 3 tahun. Areal yang digunakan untuk projek ini seluas 14 ribu hektar. Tapi, hingga kini belum ada yang menguasi lahan tersebut. Masih milik negara.

Sedangkan projek REDD+ di TNTN persiapannya—sedang berjalan. REDD Senior Officer-Forest Carbon WWF M Yudi Agusrin Syahir jelaskan, mengajukan wilayah jadi pilot projek REDD prosesnya panjang. Ada Base Land Study yang harus disiapkan. Study lengkap soal Deforestasi Degradasi selama 10 tahun belakangan. “Karena kami sudah bekerja mulai 1999 di TNTN agak lebih memberikan Base Land Study-nya,” kata Yudi.

Posoisi WWF pada pilot projek REDD di TNTN sebagai mitra, pemrakarsa tetap pengelola kawasan yaitu; Balai TNTN.

Dulu ceritanya, WWF dorong pelaksanaan projek seluas 164 ribu hektar. Bukan hanya TNTN tapi juga ada dua konsesi perusahaan. Namun, sambutan positif hanya datang dari pihak TNTN yang diwakili oleh Balai TNTN. “Jadi hanya lahan 83 ribu Ha saja yang bisa kita garap,” terangnya.

WWF juga dorong bentuk lembaga kolaboratif. Bersama Yayasan TNTN merancang managemannya. Berbentuk PT atau Koprasi. Tujuannya agar, ketika terjadi perdagangan karbon pembagiannya gampang.  “Nanti saat fase perdagangan karbon, usai pencocokan dokumen kami mundur. WWF tidak ikut dalam perdagangan karbon,” katanya.

PERKEMBANGAN konsep REDD+ itu sendiri dimulai tahun 1997. Saat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), sebuah konvensi PBB membahas perubahan iklim. Persoalan deforestasi dan peningkatan emisi carbon muncul. Kesepakatan tertuang pada Protokol Kyoto, namum hanya pada perlunya melindungi dan mengkonservasi hutan. Belum ada kesepakatan pemberian konpensasi bagi Negara berkembang yang mampu menekan deforestasi.

Saat Conference of Parties (CoP) ke 11 di Montreal, Papua Nuginie dan Costarica mempelopori Coalition for Rain Forest Nations (CfRFN) atau Koalisi Pemilik Hutan Tropis. Mereka usulkan agar Negara yang mampu menekan deforestasi diberi insentif. Lalu diberi nama Reduccing Emission from Deforestation dikenal dengan RED. Usulan ini disepakati.

Sampai pada CoP ke 12 di Nairobi, Kenya, RED tidak ada perubahan signifikan. Negara yang meratifikasi protokol Kyoto juga gagal mendesak Negara maju untuk mengurangi emisi carbon.

Pada CoP ke 13 di Bali, Indonesia sebagai penghasil carbon ke dua dari proses deforestasi mengusulkan mekanisme baru penanganan pemanasan global. Konsepnya juga pencegahan deforestasi. Tapi, Indonesia tambahkan satu poin lagi – degradation. Konsepnya penanganan perubahan iklim bukan hanya dengan pencegahan kerusakan hutan. Tapi juga terhadap penurunan kualitas hutan. Konsep ini dikenal dengan Reduccing Emission From Deforestation Degradation (REDD).

REDD disepakati pada saat CoP ke 13 yang tertuang dalam Bali Road Map. Ini adalah tonggak sejarah penting bagi munculnya skema REDD.

REDD adalah skema untuk mengurangi emisi karbon dan memberikan insentif bagi negara-negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi karbon, dengan menekan deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi dan degradasi yang dapat ditekan itu dihitung sebagai kredit karbon. Kredit tersebut  dapat di jual ke pasar karbon. Atau sebagai alternatif diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk . Ditukar dengan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melindungi hutannya.

Selanjutnya REDD berkembang menjadi REDD+ (plus) pada CoP ke 15. Penambahan plus merupakan perluasan dari konsep REDD . Poin yang ditambah— peningkatan cadangan karbon hutan. Dapat dikata REDD+ adalah penyempurnaan skema untuk menekan dampak rumah kaca guna menekan global warming. Salah satu tindak lanjutnya , Indonesia bersama Australia membuat percontohan REDD+ melalui program Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Lalu Norwegia akan kasih 1 milyar dolar untuk Pilot Projek di Indonesia. Untuk merealisasikannya ditahun 2013, Indonesia segera garap fase persiapan. Mulai tahun 2009 sampai 2012. Pada tahap persiapan itu muncul—lah satgas REDD+. Salah satu tugasnya menyiapkan Strategi Nasional REDD+. Di Provinsi Riau pun dibentuk Satgas REDD+Daerah.

Apakah Satgas REDD+ Riau sudah siap laksanakan skema REDD+ sampai akhir 2012?

“Gak, kita gak siap,” kata Prof Adnan Kasry salah satu anggota Satgas REDD+ Riau. Paling lanjutnya baru siap merumuskan apa yang akan kita lakukan melalui Rencana Aksi Daerah (RAD). “2013 kita sudah mulai jalan, tapi gak tau juga jalannya gimana,” terangnya.

Dari awal fase persiapan REDD+ di Riau Kasry terlibat aktif. Dimulai dengan membentuk Pusat Informasi Perubahan Iklim (PIPI) tahun 2010. Lembaga ini dibawah koordinasi Badan Lingkugan Hidup (BLH) Riau. Kerjanya hanya untuk mengumpulkan data terkait perubahan iklim Riau. Kerjanya terbatas. “Ahlinya aja hanya tiga orang. Ini perlu diperluas. Kita hanya kumpulkan data tentang parameter yang berpengaruh terhadap perubahan iklim,” terangnya. Lalu PIPI diganti dengan Dewan Daerah Perubahan Iklim Provinsi Riau.

“Lembaga ini mengkaji soal perubahan iklim secara umum. Selanjutnya penggandeng lembaga ini adalah Satgas REDD+,” jelasnya lagi.

Kasry juga terlibat pembahasan strategi Nasional REDD+ di grand Mulia Hotel, Jakarta April 2011. Peserta dibagi dalam lima kelompok. Kasry berada di kelompok lima. Dia bahas soal Pelibatan Masyarakat Sekitar Hutan dan Pemangku Kepentingan.

Saat pembahasan Kasry mengoreksi kata ‘masyarakat hutan’, dirubah redaksionalnya jadi masyarakat sekitar hutan. “Ide saya dulu Menginginkan Masyarakat Sekitar Hutan Menyatu dengan hutan itu. Karena menurut sejarah dan sebagainya mereka hidup dari hutan, jangan sampai mereka tidak boleh ambil hasil hutan. Tapi bukan berarti boleh ambil semaunya,” papar Kasry.

Menurutnya, kalau seandainya masyarakat dibatasi mengambil hasil hutan maka, harus diberi konpensasi. Setiap program REDD+ juga harus memperhatikan masyarakat sekitar hutan. Termasuk program Restorasi Ekosistem (RE).

“Jangan sampai ada proyek REDD+, masyarakat semakin miskin. Ada jasa lingkungan untuk masyarakat untuk apa? Mereka harus dapatkan Jasa lingkungan itu,” katanya.

Menurutnya kalau masyarakat tidak mendapatkan manfaat, skema REDD+ bakalan gagal. ”Ada pun Proyek REDD+ akan gagal. Karena susah mengawasinya. Sebab mereka tidak dapat manfaat,” tegasnya. Solusinya kata Kasry, masyarakat harus jadi pemilik, pengguna, pengawas dan pelestari. “Kalau tidak tunggu sajalah hancur hutan itu. Tak ada tu mau pakai skema apapun,” katanya.

Senada dengan itu DR Jonotoro dosen fakultas kehutanan Universitas Lancang Kuning katakan, Kalau masyarakat tidak dapat manfaat gagal juga mekanisme internasional tersebut.

“Pasti itu,” tegasya sekali lagi Jonotoro.

Jonotoro mencontohkan kemungkinan kegagalan itu. Dulu ada sistim civic cultur metode untuk mengelola hutan. Ada juga namanya Tebang Pilih Indonesia, Tebang Pilih Tanam Indonesia. Tapi Gagal. Penyebabnya karena tidak ada sama sekali kontribusi yang diberikan untuk masyarakat.

Seharusnya konpensasi tertinggi lanjutnya, diberikan bagi orang yang menerima resiko paling besar kalau hutan itu rusak. Mereka adalah masyarakat. Kalau ada apa-apa, kebakaran, kebanjiran-kan masyarakat dulu yang kena.

Jonotoro mengkritisi skema REDD+ yang dipandangnya lebih untungkan negara maju. “Jika hutan ada, oksigen enak segar begini tapi—perut masyarakat lapar juga gak bisa apa-apa. Gak bisa sekolahkan anak. Bohong juga itu. Padahal yang dapat manfat lebih besar itu negara maju yang notabenen lebih banyak memberi kontribusi gas rumah kaca,” cercanya.

“Kalau kebutuhan dia satu rupiah, konpensasinya setengah rupiah berarti tekor itu. Dapat uang dari mana lagi? Terlalu bodoh kalau kita ikuti drive-nya negara maju,” katanya.

Jonotoro juga khawatir dengan mental pejabat di Negara ini.”Kalau sudah lewat pemerintah apakah uang itu sampai ke masyarakat? Itu pertanyaan berikutnya. Takutnya uang tak sampai ke hutan minas cuma sampai monas saja. Sampai Jakarta,” terangnya.

“Kalau sudah gitu, ya sudah masyarakat rusak hutan saya tak bisa salahkan sepenuhnya.” Tutup Jonotoro.

*Laporan ini pernah diterbitkan Majalah Seribu Akar-majalah lingkungan yang digarap Forum Pers Mahasiswa Riau