Sabtu, 12 April 2014

Tangis Rimbayana di Atas Panggung Teater


PENGHUJUNG Maret 2014 kabut asap masih menggelayut tipis di kota Pekanbaru. Abu dan bau sisa pembakaran lahan pun ikut terbawa angin. Sedikitnya ada 21.000 hektare lahan sudah habis terbakar hingga akhir Maret.

 Foto:Wahid Irawan/AKLaMASI
Di gedung Anjung Seni Idrus Tintin Purna MTQ Pekanbaru malam itu sekelompok seniman Riau Beraksi Studio Seni Peran bersiap mementaskan teater berjudul Opera Rimba. Saya mendapat undangan dari sang sutradara Willy Fwiandri atau biasa dikenal Willy Fwi.

Dia sudah tertarik dengan dunia seni sejak di bangku SMA gara-gara sering melihat seniman tampil di taman budaya. Baginya seniman insan-insan yang merdeka. "Dan seniman itu keren," katanya. Dia berkomitmen untuk terus berkarya walau setahun hanya satu karya. 

Tidak seperti pertunjukan teater biasanya, kali ini penonton dijamu di ruangan depan.  Ada beberapa meja bundar disiapkan untuk tempat kongko-kongko, ditemani teh dan kopi panas tamu dapat bincangkan apa saja.  Menurut Willy jamuan begitu sengaja dibuat supaya tercipta kedekatan dengan penonton.

Selama pementasan lima hari berturut dari 26-30 Maret Opera Rimba berhasil menyedot sekitar 2.500 penonton.

Opera Rimba diadaptasi dari naskah Nyanyian Rimbayana karya Ahmad Jalidu seniman Yogyakarta, berkat polesan Willy naskah itu menjelma menjadi realita hidup di atas panggung. Sekitar 80 % dari naskah aslinya diadaptasi Willy ke konteks persoalan lokal yang terjadi di Riau.

Berisi kritik atas kerusakan alam Riau sejak lama. Dimensi kerusakan yang luas lantas dikerucutkan, dilihat dari sisi hewannya yang terusir akibat pembabatan hutan secara masif. Ia berisi suara raung tangis hewan-hewan kehilangan tempat tinggal akibat keserakahan manusia atas kekayaan alam.

“Kami coba melawan keserakahan ini lewat panggung. Melalui alur cerita yang dikemas lewat akting, lagu dan tari. Mudah-mudahan penonton terketuk hatinya,” kata Willy.

Melibatkan 24 pemeran, 7 pemain musik dan 60 orang kru membuat Opera Rimba menjadi satu kesatuan yang utuh antara akting, lagu dan tari dalam satu panggung teater.

Naskah ini selain tema kekuatannya ada di artistik membawahi tata panggung, pencahayaan, kostum dan tata rias. Ini bukanlah naskah populer, tidak banyak sanggar yang mau mengambil naskah ini karena mahal sekali. Untuk pertunjukan selama lima hari Willy harus merogo kocek lebih dari Rp5o juta, tentu di luar honor pemain dan kru yang terlibat.

Dari 24 pemeran hanya satu tokoh manusia sisanya tokoh hewan penghuni hutan bernama negeri Rimbayana. Dipimpin Raja Raung bersama permaisuri Ratu Merak yang belum lama dinikahinya.

Pertunjukan berdurasi 1,5 jam tersebut diawali kemunculan Aini, tokoh manusia satu-satunya. Dia bernyanyi  riang di tepi hutan Rimbayana sambil membawa sebatang pohon yang hendak disemai. Alunan musik mampu memberi kesan kecerian alam asri.

Seketika penonton langsung ditarik memasuki konflik. Bermula dari pencarian jodoh untuk Pangeran Zola pewaris tahta kerajaan. Melalui saimbara yang diikuti jelita dari banyak negeri, terpilihlah Puteri Gulma atas konspirasi permaisuri sang ibu tiri pangeran.

Putri Gulma seorang putri dari negeri lebih maju yang sudah melupakan tradisi leluhur menjaga nilai kebajikan.

Lewat tata rias apik karakter tokoh antagonis terpancar dari wajah Putri Gulma. Matanya gelap dan mukanya bengis, menggambarkan niat jahat terselubung dalam hatinya.

Pada satu kesempatan sebelum pernikahan digelar, Putri Gulma menyampaikan ide pembangunan di negeri Rimbayana. Menurutnya kemajuan hanya akan didapat kalau hutan ditebang, kayu-kayu diganti dengan sawit. Mall dan hotel dibangun megah. Rusa dan hewan lain menjadi objek wisata berburu. Maka, kelak akan banyak pendatang berinvestasi di Rimbayana. Uang pun mengalir ke kas kerajaan.

Sepontan penasehat kerajaan Paman Rajawali dan Bibi Garuda marah. Mereka tolak ide itu. Raja Raung juga tidak setuju namun, dia tidak berkutik dihadapan permaisuri yang sudah menguasainya. Keadaan jadi kacau, cheos tidak dapat dihindari.

Tidak kehabisan akal, Putri Gulma coba mempengaruhi Pangeran Zola namun, kembali gagal. Di sebuah bukit Putri Gulma mendorong Pangeran Zola ke jurang. Beruntung dia tersangkut di akar kayu.

Merasa sudah tidak ada penghalang Putri Gulma menjumpai permaisuri yang merupakan sekutunya untuk membabat hutan Rimbayana. Raja Raung ditaklukan diikat tidak berdaya. Emosi penonton dipermainkan raja gagah perkasa tidak bisa berbuat apa-apa, diluar ekspektasi umum.

Di hadapan semua penghuni Rimbayana Putri Gulma diangkat menjadi raja oleh permaisuri dengan alasan pangeran sudah mati dan raja sudah takluk. Tanpa disangka Pangeran Zola datang dengan kaki luka memimpin perlawanan.

Jangan berharap ada kisah happy ending di Opera Rimba, Pangeran Zola walau sudah berusaha berjuang selamatkan Rimbayana beserta isinya, tapi ia tidak pernah benar-benar jadi pahlawan. Sudah terlambat.

“Percuma, Rimbayana sudah kami jual. Akan kami ganti dengan sawit,” teriak Putri Gulma.

Pelang pengumuman bertuliskan “di sini akan dibangun pabrik asap” juga dipasang untuk menyentil relevansi keadaan Riau yang dikepung asap setiap tahun selama 17 tahun terakhir.

Foto:Riau Beraksi
Semua hewan penghuni Rimbayana tercengang. Disusul kepulan asap hasil dari rekayasa dry ice memenuhi panggung. Hutan Rimbayana dibakar. Api buatan menambah suasan mencekam. Permainan lighting juga memberi kesan merah padam kebakaran.

 Foto:Riau Beraksi
Semua hewan Rimbayana lari pontang-panting, habitatnya hangus terbakar. Sebuah sajak musikalisasi mengiringi kepergian mereka.

Dengan apakah kami bernapas?

Bila oksigen telah dirampas

Harum cendana tinggal cerita

Hilang wanginya ditelan bara



Deru gergaji menyambut pagi

Keserakahan membumbung tinggi

Sahabat rimba dipaksa pergi

Bahkan tak pernah kembali lagi


Klimaks di ujung pertunjukan, tokoh Aini datang dengan terisak menyanyikan bait sajak tersebut. Air matanya benar-benar jatuh menetes.

Penjiwaan Aini yang dalam memaksa penonton masuk ke ruang perenungan. Menerobos kesombongan dan keserakahan diri. Terhenyut, diam seribu kata. Butir air mata tampak menggenang di pelopak mata beberapa penonton.  Di kursi depan Willy ikut menyeka air matanya.

“Apakah anda bisa memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita? Apakah anda dapat mengembalikan binatang yang sudah punah? Apakah anda dapat mengembalikan hutan yang sudah punah? Apakah anda tidak dapat mengembalikannya? Tolong berhenti merusaknya!,” pinta Aini di ujung pertunjukan.

Penonton seakan belum keluar dari ruang perenungan, ruang teater itu seketika senyap. Tanpa suara tanpa bahasa beberapa detik sebelum akhirnya tepuk tangan pecah serempak. Willy berhasil menggedor nurani manusia paling tidak 2.500 penonton operanya.

Semua pemain menyalami penonton sambil membagikan bibit pohon. Willy memandang keistimewaan pertunjukan teater ada pada kedekatan pemain dan penonton. Pemain dapat menyapa penontonnya secara langsung.

Baginya kedekatan penonton dengan pemain itu sangat penting bagi kesuksesan pertunjukan teater. Termasuk tema yang diangkat harus dekat dengan penonton.

Seniman kawakan, Dedi Petet ikut mengapresiasi pementasan Opera Rimba. Menurutnya Opera Rimba mampu menangkap jeritan nurani hutan yang tidak rela dikoyak untuk kepentingan segelintir orang.  Lalu meneriakan jeritan itu dalam sebuah ruang teater.

“Apa sikap manusia mendengar jeritan hutan itu? Kita diamkah jadi tembok bisu yang tak punya kepekaan?,”

*Tulisan dalam versi yang lain sudah dimuat di Bisnis Indonesia Minggu Edisi 13 April 2014 dengan judul Mengetuk Nurani Lewat Opera Rimba