Minggu, 15 Desember 2013

Jejak Power Renger di Hutan Riau


    Tulisan ini saya buat untuk majalah Seribu Akar tahun lalu. Sebuah media alternatif yang fokus pada isu lingkukangan. Saaat itu Jikalahari sudah berusia 10 tahun. Tulisan ini mengurai perjalanan Jikalahari dan NGO di Riau yang terus konsisten menjaga hutan. Bagaimana jejaknya?

 PADA TANGGAL 25-26 FEBRUARI 2002 Non Govermant Organisation (NGO) di Riau laksanakan seminar dan lokakarya. Bertajuk ‘Hutan Riau Kini dan Masa Mendatang’. Hadir perwakilan 29 lembaga, terdiri dari 22 NGO dan 7 Lembaga Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Hadir pula Budayawan Riau UU Hamidy. Mereka bahas persoalan hutan Riau dari berbagai perspektif.

Seminar dan lokakarya itu di rancang untuk evaluasi upaya penyelamatan hutan Riau. Dipaparkan data tutupan hutan alam Riau dari tahun ke tahun. Ternyata penurunan luas hutan alam di Riau terjadi secara drastis. Penurunan tertinggi antara tahun 1999 sampai 2000an, yaitu sekitar 840 ribu hektar. Tutupan Hutan Riau yang tersisa tidak banyak lagi.

Melihat kondisi hutan Riau saat itu, muncul semangat bersama diantara banyak NGO dan Mapala yang hadir. “Kita perlu bersinergi untuk selamatkan hutan Riau,” kata Zulfahmi, waktu itu ia sebagai peserta utusan dari Hakiki.

Mereka bahas strategi penyelamatan tutupan hutan Riau yang tersisa. Ada Vision Map, memetakan target dan kerja yang hendak dilakukan. Ada Bukit Tiga Puluh landskep. Menggambarkan bagaimana menghubungkan hutan yang terintegrasi.

Mereka juga merancang koridor biologis. Bagaimana menghubungkan hutan yang satu dengan hutan lainnya. Menghubungkan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Suaka Margasatwa Krumutan, Senepis, Giam Siak Kecil, Hutan Lindung Bukit Rimbang Bukit Baling, Tesso Nillo. Konsep inilah yang mereka sebut koridor biologis.

Pada pertemuan itu Word Wild Fund (WWF) mendorong buat jaringan NGO lokal untuk kerja selamatkan hutan Tesso Nilo. “Buat jaringan sebenarnya untuk bantu visi misinya WWF di Tesso Nilo, ternyata wacana berkembang,” kata Purwo. Banyak NGO lain tidak setuju kalau hanya bekerja untuk Tesso Nilo. Mereka memandang yang harus diselamatkan bukan hanya Tesso Nilo melainkan seluruh tutupan hutan Riau yang tersisa.

Melalui perdebatan cukup panjang, WWF akhirnya mau mendengar visi dan misi NGO lainnya. Mereka sepakat buat jaringan bukan hanya untuk Tesso Nilo. Tapi untuk selamatkan Tutupan Hutan Riau yang tersisa.

Hari kedua, Forum sepakati buat jaringan dengan nama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau disingkat JKPMHR. Nantinya nama ini akan berubah jadi Jikalahari.

Perdebetan kembali terjadi, saat menentukan bentuk dan struktur organisasi. Bagaimana sistem yang akan dibangun. Belajar dari jaringan yang pernah ada, Mereka tidak mau jaringan berdiri sendiri, lantas lembaga yang gabung akan mati. Intinya mereka mau jaringan hanya sebagai sekretariat.

Forum juga sepakati struktur jaringan pakai Pimpinan Kolektif diambil dari lembaga anggota. Fungsinya untuk jalankan jaringan. Lalu dipilih lima orang Pimpinan Kolektif. Pemilihannya dengan cara demokrasi. Pakai Foting. Samsuardi dari WWF tulis di papan tulis. Ada 13 bakal calon Pimpinan Kolektif. Terpilih Purwo Susanto dari WWF, Kecang dari Riau Mandiri, Prio Anggoro dari Yayasan Siklus, Ahmad Zazali dari Kaliptra Sumatera dan Zulfahmi dari Hakiki.

Mereka ditugaskan membenahi jaringan, mencari akses dana, menyiapkan statuta peraturan jaringan.

Di tetapkanlah hari itu, 26 Februari 2002 sebagai hari lahirnya Jikalahari. Purwo Susanto bilang ‘Jikalahari lahir pada waktu dan tempat yang tepat,’.

SEBELUMNYA, Critical Ecosistem Partnership Fund( CEPF) akan masuk ke Riau melalui WWF Riau. Mereka ingin selamatkan hutan Tesso Nillo dengan program Riau Said Tesso Nilo. Memperjuangkan Tesso Nilo menjadi Taman Nasional dan wilayah konservasi. Program ini akan mendapat suport dana dari CEPF.

CEPF disebut juga Dana Kemitraan Ekosistem Kritis. Merupakan bentuk kemitraan antara enam lembaga donor untuk lingkungan. Yaitu Conservation International, Global Invironment Facility, Pemerintah Jepang, Jhon D and Catherine T.MacArthur Foundation serta World Bank.

Tujuan utama CEPF, mewujudkan wilayah konservasi di areal penting yang kaya akan keanekaragaman hayati. Mereka juga mendorong kelompok masyarakat madani, NGO dan Swasta terlibat dalam konservasi keragaman hayati. Membangun aliansi antara kelompok-kelompok untuk berpartisipasi mendukung konservasi.

Sebab itu CEPF ingin ketemu dengan NGO Riau untuk buat jaringan local. WWF fasilitasi undang NGO. Sampaikan CEPF ke Riau dan kerja untuk Tesso Nillo. WWF punya dua misi atas terbentuknya sebuah jaringan. Pertama bagaimana perjuangkan Suaka Margasatwa Tesso Nillo jadi Taman Nasional. Yang kedua bagaimana selesaikan konflik gajah dengan manusia.

Dari diskusi awal perdebatan sudah muncul. Terkait hutan mana yang hendak di perjuangkan. Banyak NGO pandang yang harus diselamatkan bukan hanya Tesso Nilo. Tapi, banyak lagi yang lain.

Untuk satukan pandangan dilaksanakan beberapa kali pertemuan. Mereka diskusi. Pernah juga buat Workshop di Hotel Raudah dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan Riau. Dari pertemuan-pertemuan itu belum juga ada kesamaan pandangan diantara NGO. Baik dalam hal pembentukan jaringan maupun hutan mana yang hendak diperjuangkan. mereka sepakat duduk bersama dalam sebuah forum.

Forum itu dikemas dalam bentuk seminar dan lokakarya yang dilaksanak di Hotel Dian Graha Pada 25-26 Februari 2002. WWF berperan aktif memfasilitasi NGO Riau hadir di acara itu. Selanjutnya, forum hasilkan keputusan-keputusan yang berdampak pada penyelaamatan hutan Riau. Mereka sepakat bentuk Jaringan, bekerja selamatkan tutupan hutan Riau yang tersisa. Lalu untuk jalankan jaringan dipilih lima Pimpinana Kolektif dari lembaga anggota.

AWAL TERBENTUKNYA, Pimpinan Kolektif mulai buat rancangan statuta. Prio ajukan diri membuat draftnya, untuk dibahas oleh seluruh Pimpinan Kolektif. Dalam draft statuta, Prio usulkan nama Jikala Hari pakai spasi. Purwo bilang ‘Biar lebih enak diucapkan gabungkan aja Jikalahari gak pakai spasi,’. Mereka memasukan nama Jikalahari bersama dua nama lainnya di draft statuta.

Pembahasan dan pengesahan Statuta dilaksanakan bulan April 2002 di Bapelkes, Panam. Prio pimpin sidang. Satu persatu poin dibahas. Saat bahas nama, Forum sepakat Jikalahari sebagai nama jaringan ini, menggantikan nama JKPMHR.

“Aku mau nama Jikalahari jadi kosa kata baru dalam kamus Bahasa Indonesia,yang kira-kira artinya penyelamat hutan,” kata Prio. Prio juga membuat logo Jikalahari.

Pada pembahasan statuta nilai-nilai sudah mulai dibangun. Jikalahari menjunjung nilai keadilan, demokratis, independen, transparansi juga menjunjung tinggi HAM. Keberpihakan Jikalahari pada masyarakat marjinal dan suku asli Riau. Jikalahari juga tidak boleh bekerja dengan dana dari hutang luar negeri dan pihak yang merusak lingkungan.

Zulfahmi cerita, saat pembahasan dan pengesahan Statuta berlangsung, sampai ada lempar-lemparan gelas. “Kalau gak salah berkaitan dengan sumber-sumber pendanaan,” katanya. Itu bagian dari dinamika yang muncul.

Riko Kurniawan Direktur Yayasan Perkumpulan Elang bercerita, posisi Mapala saat itu dilematis. Dihadapkan pada kesepakatan tidak boleh terima dana dari perusahaan perusak lingkungan. ”Misalnya bikin kegiatan biasa ajukan dana ke RAPP. Ketika sudah ada kesepakatan, tidak boleh ajukan dana ke perusahaan perusak lingkungan. Ini kita bicarakan.” Kata Riko.

Sedang untuk mengakomodir ‘ide gila’ anggota, istilah di statuta dibuat aneh-aneh. Misalnya Rapat Besar Anggota disingkat Rasa. Rapat Kelompok Kerja Khusus disingkat Rakkus. Rapat Berkala Anggota disingkat Raba.

Kemudian dari lima orang Pimpinan Kolektif dipilih satu orang dinamisator. Fungsinya untuk mengomunikasikan segala kegiatan kepada Pimpinan Kolektif lainnya. Zulfahmi jadi dinamisator. Peran Pimpinan Kolektif masa itu sebagai eksekutif juga legislatif. Tidak ada yang kontrol kerjanya.

Saat pembahasan Statuta itu, Pimpinan Kolektif di mandatkan untuk persiapkan sekretariatan dan selenggarakan Rasa yang pertama.

Rasa pertama dilaksanakan bulan Februari 2003 di sekretariat pertama Jikalahari, di Gobah. Dalam perjalanannya terpikir harus ada orang yang fokus jalankan roda organisasi. Karena lima utusan itu dari lembaga, khawatir tidak fokus. Selain itu harus ada yang kontrol kerja orang-orang tersebut.

TERJADI PENGUATAN struktur Jikalahari. Pada Rasa pertama,Pimpinan Kolektif berubah jadi Dewan Presidium. Yang berfungsi sebagai pengawas, representasi dari anggota Jikalahari. Untuk menjalankan organisasi pakai Koordinator yang bekerja sebagai eksekutif. Zulfahmi jadi koordinator pertama dengan masa jabatan dua tahunan.

Dewan Presidium di tugaskan untuk daftarkan jikalahari ke Pengadilan Negeri. Jikalahari terdaftar di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 21 Mei 2004 dicatat oleh Notaris Rahmat Nauli Siregar No. 05

Tahun 2004, Jikalahari juga lakukan perkuatan manageman untuk lembaga anggota. Karena lembaga butuh permaikan manageman. Buat pelatihan dengan Lembaga Konsultan Nandiline. Artinya jalur nandila. Fadil Nandila jadi konsultannya.

Di struktur Jikalahari periode 2005-2007, Zulfahmi masih menjabat Koordinator Jikalahari. Kembali ada perubahan struktur. Sudah pakai wakil koordinator untuk bantu kerja koordinator. Ahmad Zazali dipercaya jadi wakil koordinatornya.

Komposisi Dewan Presidium pun berubah. Untuk mengakomodir keterwakilan Mapala masuklah Herbet. Dengan pertimbangan harus ada keterwakilan anggota dari kalangan Mapala di Dewan Presidium. Sebelumnya tidak ada dari Mapala di Dewan Presidium. Padahal Dewan Presidium merupakan representatif dari anggota Jikalahari.

Di struktur Jikalahari sejak Rasa tahun 2005 ada namanya Sodare Jikalahari. Ruang untuk individu bergabung di Jikalahari. Semacam partisan. Akan dilibatkan dalam kegiatan, tapi tidak dibebani tanggungjawab. Tapi kendalanya, lambat meregistrasi teman-teman yang mau berpartisipasi di Jikalahari. Orang-orangnya ada, tapi yang teregistrasi baru satu orang. Yaitu Jono Toro seorang akademisi.

Periode berikutnya Koordinatornya Santo Kurniawan. Wakil koordinator berubah ada dua untuk membagi tugas. Wakil Koordinator I diamanahkan pada Muslim Rasyid, membidangi urusan internal dan kelembagaan. Wakil Koordinator II Hariansyah Usman, membidangi urusan eksternal.

Dewan Presidium berubah nama jadi Dewan Penasehat, fungsinya hanya jika diminta. Karena gak diminta-minta terkesan gak ada fungsi.

Periode 2009-20011 Koordinator masih Santo kurniawan. Wakil koordinator berubah hanya satu. Muslim tetap jadi Wakil Koordinator. Dewan Penasehat berubah nama jadi Dewan Pertimbangan.

Rasa yang terakhir tahun 2011 Muslim terpilih jadi Koordinator Jikalahari. Fadil Nandila sebagai Wakil Koordinatornya. Dewan Pertimbangan fungsinya dirubah, jadi seperti Dewan Presidium. Sekarang Dewan Pertimbangan ada sistem monitoring internal. Dengan tim teknis libatkan Mapala mengontrol kinerja lembaga anggota.

Muslim saat pembentukan Jikalahari utusan dari Yayasan Mitra Insani (YMI). Saat itu YMI fokus pada isu pertanian dan lingkungan. Muslim mulai urus Jikalahari tahun 2004. Masuk ke sekretariat. Diminta oleh Zulfahmi jadi Staf Informasi komunikasi. Sebelum di Jikalahari Muslim sudah fokus pada isu lahan rawa gambut.

Dalam hal penguatan financial Jikalahari juga terus diperkuat dengan semakin banyaknya donor yang percaya akan kinerja Jikalahari. Pada tahun pertama Jikalahari gak punya dana untuk program penyelamatan hutan Riau. Dana dari CEPF hanya cukup untuk urusan sekretariat. Baru sejak 2003 Jikalahari dapat dana dari Simenpu lembaga donor dari Firlandia. Tahun lalu dapat dana dari Semenpu sekitar 60 ribu Euro untuk dua tahun. Juga dapat dari Tasmanian Forest Contractors Association (TFCA). Juga lembaga donor lainnya.

Dalam perjalanannya Jikalahari selalu dorong peran serta lembaga anggota. Pernah dibentuk Kelompok Kerja. Misalnya ada pembagian kerja. Di wilayah Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir lembaga apa yang bertanggung jawab. Di Kuansing, Kampar siapa?. 

“Pokoknya Kita akan lakukan terus simulasi untuk temukan formula sistem terbaik. Learning by doing,” kata Kecang.

KITA TARIK KEBELAKANG sebelum Jikalahari ada, kondisi hutan Riau sudah mengalami deforestasi besar. Pada 1997 terjadi kebakaran hutan besar-besaran. Akibat kemarau panjang. Ditambah ada tradisi buka kebun dengan cara dibakar. Banyak lahan gambut ikut terbakar. Api sulit dipadamkan. Akibatnya hasilkan banyak asap sampai ganggu transportasi.

Sedang tahun 1998 ilegal loging di Riau semakin marak. Pada prakteknya libatkan tiga kelompok. Pertama eksekutor lapangan, ia para perambah yang umumnya masyarakat. Kelompok kedua cukong kayu dan toke-toke. Kelompok ketiga, perusahaan kayu. Ada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Keduanya pabrik kertas besar yang butuh banyak kayu.

“Peralatan pabrik mereka dirancang untuk ukuran bebas, kayu besar pun bisa masuk,” kata Purwo Santoso aktivis World Wide Fund (WWF).

Sementara hutan di Indonesia sudah banyak gundul. Di Sumatera terutama Riau masih ada yang tersisa. Tapi, semua tutupan hutan ini terancam habis, berbarengan dengan maraknya kepala daerah keluarkan Izin. Misalnya saja Di Tesso Nillo akan masuk konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), ada PT Siak Raya juga PT Hutani Sola Lestari. Kalau tidak segera diselamatkan hutan akan habis.

Disisi lain, NGO di Riau tidak ada sinergisitas untuk selamatkan hutan Riau. Berjalan sendiri-sendiri berdasarkan isu masing-masing. Tidak ada yang betul-betul fokus urus hutan Riau.

Pernah ada Forum Penyelamat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (FPTNBT). Ada sekitar delapan LSM dan Mapala bergabung. Tapi FPTNBT hanya fokus urus soal hutan di wilayah TNBT.

Pernah juga ada Forum Konsultasi Daerah yang dimotori oleh Yayasan Riau Mandiri. Forum ini untuk sertifikasi perusahaan berbasis hutan lestari. Jalankan program bersama Lembaga Ekolabel Indonesia, sebuah lembaga sertifikasi. Tokoh Riau Tabrani Rab juga ada di forum. Mereka juga tidak bicara penyelamatan hutan Riau.

Pernah ada Aliansi Tolak Tambang Pasilr Laut. Terdiri dari beberapa NGO. Mereka menolak penambangan pasir laut tidak bicara penyelamatan hutan.

Pernah ada Asosiasi Organisasi Non Pemerintah (Asosiasi ORNOP). Isu yang dibawa bukan hutan. Tapi mengarahkan NGO jadi lembaga yang transparan dan akuntabilitas.

Sebelum Jikalahari ada, tahun 1990an sebenarnya sudah pernah ada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau. Lembaga jaringan penggiat lingkungan yang strukturnya dari nasional sampai daerah.

“Sekitar tahun 1997 WALHI Riau dicabut oleh WALHI Nasional karena masalah internal,” kata Ruly Sumanda, Direktur Walhi Riau pertama, setelah Walhi Riau dihidupkan lagi.

Singkatnya,sudah banyak gerakan yang dilakukan. Jumlah NGO juga sudah banyak, tapi tidak ada yang fokus kerja untuk selamatkan hutan Riau. Mereka bekerja sendiri-sendiri. Dengan isu yang berbeda-beda. Sampai pada momen terbentuknya Jikalahari. Ketika Jikalahari hadir fokus utamanya adalah bekerja menyelamatkan Sisa Tutupan Hutan Alam Riau.

MAJALAH TEMPO memeberi apresiasi atas kerja Jikalahari selama ini. Edisi 2 Februari 2012 TEMPO tulis tujuh lembaga non pemerintah sebagai lembaga penggiat anti korupsi. Salah satunya Jikalahari. Judul tulisannya ‘Para Penjaga Hutan Riau’. Jikalahari, disejajarkan dengan  power renger.  Sang penjaga hutan.

Prosa itu agaknya tidaklah berlebihan. Selama 10 tahun Jikalahari memang terlibat aktif dalam menjaga hutan Riau.

Jikalahari memulai kerjanya dengan mengumpulkan data, melakukan kampanye penyelamatan hutan Riau. Juga mengadvokasi kepentingan masyarakat. Sampai pada satu titik, Jikalahari terlibat dalam penegakan hukum. Termasuk korupsi kehutanan.

Puncaknya tahun 2005 . Presiden terbitkan Inpres No. 4 Tahun 2005 pada 18 Maret 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia. Dilanjutkan dibentuk tim Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi (Kormonev). Tim ini dibentuk dengan Surat Keputusan Menkopolhukam SKEP-76/Menko/Polhukam/9/2007.

Jikalahari masuk tim Kormonev, diwakili oleh Santo Kurniawan saat itu ia Koordinator Jikalahari. Sampai sekarang tim ini belum dibubarkan. Tim kerja lakukan Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk percepat pemberantasan ilegal loging.

Sebelumnya sudah banyak data yang dihimpun Jikalahari, terkait Ilegal loging dan soal hutan di Riau. Jikalahari hitung kerugian negara sekitar 2,8 triliun. Akibat pemberian izin yang bertentangan dengan PP 34/2004. PP ini mencabut kewenangan kepala daerah keluarkan izin. Sementara ada 37 izin dikeluarkan Gubernur dan Bupati setelah PP itu terbit. Jikalahari beberkan namanya.

Termasuk Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar dan Bupati Siak Arwin AS. Lalu semua data diserahkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sampai akhirnya beberapa kepala daerah diproses. Karena keluarkan izin dan terbukti merugikan keuangan negara. Tengku Azmun Jaafar Bupati Pelalawan dipenjara 11 tahun lebih. Begitu juga Arwin AS dihukum penjara 4,5 tahun. Sedang Suhada Tasman mantan Kepala Dinas Kehutanan sekarang disidang dengan tuntutan yang sama, merugikan keuangan negara.

Sebelum di proses, Bupati Siak dan Bupati Pelalawan sempat tandatangani surat kesepahaman bersama Jikalahari. Penandatangan dilakukan dalam agenda Conference of the Parties (COP 13). Saat pertemuan United Nations Climate Change Conference (UNCCC) di Denpasar Bali, tahun 2007. Salah satu isinya, ada kesepakatan lestarikan ekosistem hutan rawa gambut Semenanjung Kampar.

Hingga kini Jikalahari masih perjuangkan penyelamatan tutupan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar. Berbarengan dengan penyelamatan hutan di daratan, tanah keras. Melalui strategi penyelamatan yang Mereka lakukan. Jikalahari lakukan konfrontasi ke PT RAPP. Buat Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (TP2SK). Dalam tim itu ada Walhi Riau, Jikalahari, Scale Up, Greenpeace Sea, KBH Riau, LBH Pekanbaru, Kaliptra Sumatera, Kabut Riau dan TII Riau.

TP2SK tetap berjalan, muncul Forum Masyarakat Semenanjung Kampar lakukan gugatan citizen lawsuit. Gugatan yang dilakukan warga. TP2SK dampingi gugatan ini. Mereka gugat Menteri Kehutanan sebagai tergugat I dan Bupati Pelalawan tergugat II.

TP2SK ajukan usulan perdamaian pada para tergugat. Intinya merevisi SK Menhut 327 tahun 2009 dan menjadikan hutan Negara tidak lagi kawasan HTI PT RAPP. tapi, jadikan Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat atau Hutan Kemasyarakatan, dengan catatan terlebih dahulu tanah milik warga dikeluarkan.

Namun, negosiasi itu ditolak tergugat. Alasan tergugat I karena tidak ada dasar hukum yang kuat untuk merevisi SK 327 tahun 2009. Tergugat II hanya mengikuti apa yang menjadi keputusan Menhut RI. Akhirnya sidang ini berlanjut (pada akhirnya kalah).

Jikalahari juga tergabung dalam Forum Multi Pihak Semenanjung Kampar (FMSK). Forum ini bahas bagaimana memanfaatkan Semenanjung Kampar. Di dalamnya mengakomodir semua kepentingan. Ada lima pihak dalam forum ini. NGO, pemerintah, perusahaan, masyarakat dan akademisi. Jikalahari perjuangkan masyarakat mendapatkan haknya. Dan tentu saja pengolahan jangan rusak lingkungan.

Berbarengan dengan advokasi di Semenanjung Kampar, Jikalahari juga berperan aktif menyeret perusahaan yang terlibat ilegal loging. Mereka pandang ketika perusahaan tetap beroprasi, upaya menjebloskan kepala daerah ke penjara tidak berarti apa-apa. Toh, perusahaan tetap bisa menebang hutan dengan izin yang didapat. Walaupun para kepala daerah sudah dipenjara karena keluarkan izin itu dan dinyatakan merugikan negara.

Perjuangan menyeret perusahaan terbentur tatkala Hadiatmoko Kapolda Riau pada 2008 keluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 14 perusahaan yang pernah di laporkan Jikalahari. Tapi, sampai sekarang Jikalahari tetap upayakan kasus ini di buka kembali. Mereka ingin SP3 di cabut.

Untuk dorong SP3 dicabut, Mereka buat tim Eksaminasi Publik. Di tim itu ada Prof. DR. Bambang Widodo Umar, Pengajar PTIK/mantan Polisi, DR.Agus Surono,SH.MH, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar, DR.Asep Iwan Iriawan,SH. Mhum, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Adnan Pasliadji,SH, Pengajar Pusdiklat Kejaksaan/mantan Jaksa, Flora Dianti,SH.MH, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rhino Subagyo,SH.MH, Peneliti ICEL. Mereka ditunjuk Jikalahari sebagai Tim Eksaminasi Publik.

Tim Eksaminasi ini diinisiasi dibentuk atas inisiasi Jikalahari bersawa Indonesia Corruption Watch (ICW). Jikalahari dan ICW jadi Tim Perumus dalam Eksaminasi Publik. Diwakili oleh Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari. Susanto Kurniawan, Dewan Pertimbangan Jikalahari. Serta dua orang aktivis ICW; Donal Fariz dan Emerson Yuntho.

“ICW memandang penting korupsi sektor kehutanan, karena kerugian Negara banyak sekali, juga kerugian ekologi,” kata Emerson. Bagi Emerson, Jikalahri mempunyai aspek kualitas sangat bagus. “Kita perlu patner dalam melawan korupsi kehutanan, di Riau, Jikalahari pilihan yang pas." katanya.

Selain program advokasi, Jikalahari juga ada program pemberdayaan masyarakat desa. Sekarang ada program pendampingan masyarakat yang dijalankan Yayasan Kabut Riau. Didukung TFCA. Program ini ada di desa Sungai Rawa. Berada di kawasan Semenanjung Kampar. Berbatasan langsung dengan pesisir laut.

Dari kelompok kecil di desa Sungai Rawa, pecinta Magrove lahir. Anggotanya masyarakat tempatan. Mereka buat bibit Magrove, Bakau dan Api-api. Mereka tanam di pesisir. Tujuannya selamatkan kawasan Magrove pesisir pantai.

Jikalahari  sempat kusilatan mengajak masyarakat jaga lingkungan. Sebabnya, masyarakat punya pemikiran yang terpenting, bagaimnana mereka bisa dapat manfaat langsung bisa dirasakan hari ini. “Nah, itu yang belum bisa kita jawab dengan cepat,” kata Santo.

PADA 3 FEBRUARI 2012 Forum Pers Mahasiswa Riau gelar diskusi10 tahun Jikalahari di kantor Jikalahari. Beberapa orang pendiri Jikalahari hadir. Ada Priyo Susanto, Kecang, Muslim, Santo, Teddy dan beberapa lainnya. Zulfahmi di hubungi lewat Skype. Mereka bercerita mulai pembentukan hingga perjalanan Jikalahari di usia 10 tahun ini.

Dalam perjalanannya ada anggota Jikalahari yang keluar. Bahkan ada yang dikeluarkan. Karena ketahuan ‘bermain mata’ dengan perusahaan perusak lingkungan. Sekarang anggota Jikalahari tinggal 22 lembaga yang semula 29.

Menanggapi hal itu mereka tidak khawatir dengan pengkaderan di Jikalahari. Menurut Priyo semua tergantung pengkaderan dari lembaga anggota. Karena basisnya ada di lembaga anggota. Mapala yang terlibat program Jikalahari juga jadi basis kader.

“Kader sudah muncul sebetulnya. Masalah kuantitas saja sekarang. Sebenarnya yang dijadikan indikator bukan berapa kader yang dihasilkan. Tapi, kita bicara eksistensi setiap anggota di dalam perkumpulan. Itu kaderisasi Jikalahari,” tambah Riko.

Di usia yang ke 10 ini mereka berharap, Jikalahari terus menjaga hutan Riau. Serta membuat terobosan-terobosan lebih baik

”Kalau aku sekarang tinggal, Jikalahari kedepan mau dibawa kemana?” tutup Santo.