Naga Sakti dan Sate Kacang di Dosan

Bagaimana tingkatkan ekonomi masyarakat tanpa rusak hutan? Bgaimana mengolah sawit dengan lestari?

Aroma Gagal REDD+ Riau

REDD+ memasuki fase implementasi tahun 2013. Bagaimana posisi masyarakat sekitar hutan? Siapa penikmat manfaat program ini?

Seutas Cerita di Makkasar.

Sebuah catatan perjalanan.

Bunga Bangsa di Tengah Srikandi Berbari

Bagaimana kisah pemberdayaan perempuan desa?

Minggu, 28 Desember 2014

Api Hilang 'Piti' Datang (Sebuah Model Desa Mandiri)

Bagaimana pengelolaan kawasan gambut berkelanjutan di Desa Harapan Jaya? Bagaimana warga desa membebaskan diri dari bahaya kebakaran lahan?

MEDIO NOVEMBER, api menyala di lapangan bola Desa Harapan Jaya, dua tumpuk daun kering mulai terbakar. Api menyala cepat. Asap pun mulai mengepul.

Puluhan anggota kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) sibuk bersiap. Selang ditarik, mesin pompa air dihidupkan. Kalau tidak segera dipadamkan api cepat menjalar, sebab ia berada di tanah gambut. Tim MPA bergerak cepat. Kurang dari dua menit api sudah padam.

Peristiwa itu hanya simulasi pemadaman api saat menyambut kedatangan Bupati Indragiri Hilir, H Muhammad Wardan.  Ia datang ke Desa Harapan Jaya untuk menghadiri acara sarasehan sekaligus melihat kemajuan desa.

Desa Harapan Jaya berada di Kecamatan Tempuling, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Dari kota kecamatan jaraknya sekitar 32 Km. Memiliki luas 4.000 ha di tepi sungai Indragiri. Secara umum merupakan kawasan gambut. Dengan wilayah perkebunan 40 persen.

“Sebuah kawasan gambut yang memiliki risiko cukup tinggi berupa kebakaran hutan dan lahan,” kata Hisam Setiawan menegaskan risiko yang dihadapi di Desa Harapan Jaya.

Sepanjang tahun, Riau alami kerugian di banyak sektor akibat kebakaran dan asap. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat April tahun ini, kabut asap akibat kebakaran lahan di Riau menelan kerugian hingga 20 triliun.

Dinas Kesehatan Provinsi Riau menyatakan jumlah penderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) hingga Maret, mencapai 27.200. Sedangkan Satgas Darurat Asap Riau mencatat sepanjang tahun ini lebih dari 21.900 hektar lahan dan hutan habis terbakar.

Tentu saja risiko tersebut tidak dapat dipandang remeh apa lagi pembukaan lahan dengan cara membakar masih dilakukan secara masif di banyak wilayah. 

Sekretariat ASEAN dengan dukungan Komisi Uni Eropa menggagas sebuah program bernama Sustainable Peatland Management in South East Asia (SEApeat) Project. Program ini melibatkan masyarakat dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan khususnya kawasan gambut di 10 negara ASEAN.

Di Indonesia dilaksanakan di Provinsi Riau tepatnya di Desa Harapan Jaya. Yayasan Mitra Insani (YMI) menjadi implementornya. Hisam Setiawan dari YMI sebagai Cordinator of SEApeat Project Indonesia Component.

Di Desa Harapan Jaya mereka mengembangkan sebuah konsep pengelolaan kawasan gambut yang berkelanjutan berbasiskan masyarakat dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta peningkatan ekonomi masyarakat.

Menurut Hisam, pemilihan lokasi di Desa Harapan Jaya berdasarkan dua pertimbangan. Pertama kepemimpinan desa yang baik, kedua adanya komitmen masyarakat yang kuat.

“Dua hal tersebut menjadi penentu keberhasilan program,” katanya.

Selama periode 2012 hingga 2014 lanjutnya, kerjasama YMI dengan Pemerintah Desa Harapan Jaya telah berhasil membuktikan melalui pendekatan partisipatif dan didorong dengan komitmen masyarakat, upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut berbasiskan masyarakat dapat dilakukan.

Untuk melihat keberhasilan yang dimaksud, saya bersama beberapa wartawan lain datang ke desa itu.

SAAT KAMI tiba, hari sudah malam. Rombongan harus diangkut pakai pompong menyebrang sungai Indragiri. Dari dermaga naik motor roda dua ke pemukiman.

Di tepi jalan dekat dermaga banyak kunang-kunang menggelayut di pohon, seperti bintang berkelip riang. Tentu cahayanya tidak cukup kuat mengganti gelap. Hanya lampu motor yang menerangi jalan.

Motor tidak dapat berjalan kencang. Sesekali harus ngerem mendadak, mencari celah di antara aspal yang terbelah. Jalan sudah rusak.

Tiba di balai pertemuan, puluhan warga menyambut antusias. Mereka senang desanya dikunjungi wartawan. “Biar lebih dikenal,” kata salah satu warga.

Kepala Desa Harapan Jaya, Rasidi mengakui, dulu desanya memang tidak dikenal dalam arti sesungguhnya. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) saja sampai tidak tahu keberadaan Desa Harapan Jaya. Kalau BPMPD saja tidak kenal lanjut Rasidi, bagaimana desa bisa dapat anggaran pembangunan.

“Saya sampai pelihara jenggot sebagai ciri khas Kepala Desa Harapan Jaya, tujuannya agar mereka mengenal desa ini,” katanya sambil tertawa.

Dari segi infrastruktur hingga kini Harapan Jaya masih tertinggal. Terutama jalan dan listrik. Untung saja warga punya inisiatif membangun pembangkit listrik tenaga diesel secara swadaya. Lumayanlah ada penerangan, namun cuma hidup sampai 12 malam.

Malam itu kami menginap di rumah warga. Di sebar ke beberapa rumah. Saya dan Saan dari Forum Pers Mahasiswa Riau menginap di rumah Sukar. Salah satu warga transmigran gelombang pertama tahun 1981.

Sukar cerita saat pertama datang, warga transmigran diberi jatah sembako. Beras, sayuran, ikan asin, garam, hingga minyak lampu. Semua disediakan pemerintah. Mereka mendapat tanah 2 Ha untuk perkebunan ditambah pekarangan rumah. Padi menjadi tanaman utamanya.

Di tahun awal mereka mengalami gagal panen. Jatah yang harusnya hanya 1,5 tahun diperpanjang hingga 2 tahun. Lantaran belum sanggup memenuhi kebutuhan hidup.

Warga transmigran gelombang kedua datang di tahun 1982. Kalau dirunut kebelakang, sebelum transmigran datang cikal bakal Harapan Jaya sudah ada sejak 1990 an.

Hal itu diceritakan Masni Umar pada lain waktu. Ia generasi kedua dari suku Banjar perintis desa yang masih tersisa. Awalnya hanya sekitar 10 keluarga termasuk orang tuanya. Mereka menebang hutan secara manual. Bahkan untuk membuat kanal pun mereka menggunakan linggis. Biasanya mereka menyiapkan lahan pertanian dengan cara membakar.

Perkembangan terjadi sangat lambat. Warganya pun tak begitu ramai. Saat ada program transmigrasi, warga perintis diikutkan. Sejak itu mereka hidup berdampingan membangun desa.

Kebiasaan membakar lahan dengan cara dibakar ternyata terus dipraktikan. “Dulu kami selalu membuka lahan dengan cara dibakar, walau dalam jumlah kecil,” kata Masni Umar.

PAGI ITU, kami berkumpul lagi di balai pertemuan bersama warga.  Rasidi menjabarkan bagaimana menyadarkan warga atas bahaya membakar lahan dan pencapaian desanya bersama YMI.

Ia bilang, praktek pembakaran lahan yang dilakukan warga sejak lama berdampak buruk bagi kualitas tanah.

 “Lahan yang dibakar sekarang tidak bagus ditanami apa pun, tanahnya mengeras seperti padas. Sudah banyak contohnya dapat dilihat,” paparnya.

Ia selalu mengatakan pada warga, membuka lahan dengan cara dibakar justru merugikan. Ia pakai analogi tanam sawit lahannya dibakar. Siap tanam ditangkap polisi masuk penjara. Keluar dari penjara sawitnya gak berbuah. “Nah, siapa yang rugi?,” tanyanya pada warga. Perlahan warga pun berpikir untuk tidak membakar lagi.

Puncak komitmen mereka dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Desa Harapan Jaya pada 2012.

Denda yang dikenakan bagi pembakar lahan ditetapkan. Setiap batang sawit yang terbakar didenda Rp 350 ribu. Sedangkan per batang karet Rp 100 ribu.

Perdes hingga kini belum mendapat pengesehan dari Biro Hukum Kabupaten Inhil. Padahal sudah lama diajukan. Meskipun begitu ternyata tidak mempengaruhi komitmen warga. Mereka tetap menerapkannya.

Sejauh ini ada satu warga yang melanggar, mau tidak mau harus membayar denda. “Kami tidak memberikan sedikit pun celah bagi warga membakar lahan,” tegas Rasidi.  Sejak itu tidak ada warga berani bermain-main dengan komitmen tersebut.

Hisam lalu memaparkan tiga inisiatif yang dilakukan berbasis masyarakat program SEApeat Project di Harapan Jaya.

Pertama, pengelolaan kawasan berkelanjutan. Kedua, peningkatan ekonomi masyarakat. Ketiga, peningkatan kapasitas masyarakat dengan penerapan teknologi informasi.

Dalam rangka pengelolaan kawasan berkelanjutan mulanya dilakukan pemetaan partisipatif wilayah administratif desa. Tujuannya mengetahui wilayah kerja atau tata batas.

Secara teknis pembuatan peta administratif desa dilakukan sendiri oleh warga secara gotong royong. Mereka menyelesaikan selama dua minggu. Dibuat cluster 500 meter persegi lalu warga mengambil titik kordinat pakai GPS. Titik kordinat dipindahkan ke kertas kalkir, setelah selesai baru dibuat peta digitalnya. 

Diperoleh kenyataan desa yang dulu luasnya 5.850 Ha ternyata hanya 4.000 Ha. Soal luasan wilayah ini Rasidi punya pengalaman buruk. Ia ditahan selama sembilan hari karena melawan masuknya PT Sumatra Riang Lestari. Perusahaan tersebut dipandang menyerobot sebagian wilayah desa. Hingga kini persoalan luas desa yang berkurang belum selesai.

“Setidaknya sekarang punya panduan mana wilayah kerja kami,” kata Rasidi.

Setelah memiliki peta administratif, mereka membuat peta kontur atau topograpyh untuk perbaikan tata air. Warga mengerjakannya secara teknis selama tiga bulan. Rata-rata mendapat bagian dua kali turun ke lapangan. Data yang dikumpulkan diserahkan ke konsultan.

Hasilnya diketahui, kanal saat ini ternyata memotong kontur, akibat pembuatan kanal serampangan tanpa kajian. Saat transmigran datang, kanal primer yang sudah ada ditambah kanal sekunder dan tersier. Bahkan kanal tersier dibuat setiap 125 meter satu.

Akibatnya tingkat elevasi—posisi vertikal suatu objek dari suatu titik tertentu—ketinggian kawasan sekitar lima meter dari tepi sungai. Artinya permukaan gambut lebih tinggi lima meter dari air. Dalam kondisi ini gambut mengalami kekeringan.

Ada warga cerita saat kemarau tiba mencari air untuk meracun rumput saja susah. Tanah gambut jika digali tidak keluar airnya.

“Bagaimana tanaman dapat tumbuh bagus kalau jarak airnya lima meter? Batas elevasi untuk Sawit normalnya 80 cm, di atas itu tidak baik. Sawit tidak mampu menyerap air. Lah, ini malah sampai lima meter, pantas saja daun sawit banyak yang kuning. Kering,” terang Rasidi. Ia pernah belajar water managemant.

Ketua Badan Pertimbangan Desa, Imam Rokhimin menjelaskan sudah lama warga meraskan dampak pembangunan kanal yang dilakukan serampangan tersebut. Ia cerita tanaman padi yang mereka tanam pun terkena imbasnya. Lalu mereka menggantinya dengan sawit di tahun 2000an. Nyatanya mereka harus kembali menelan kenyataan pahit. Sawit pun tumbuh tidak begitu baik.

Rencana mengatasi persoalan tersebut sudah mereka tuangkan di grand design kawasan. Di dalam grand design mereka petakan mana kawasan pemukiman, pembangunan jalan dan kanal.

Untuk mengatasi tingginya tingkat elevasi direncanakan membangun kanal sepanjang 47,5 Km. Menelan biaya lebih dari Rp 3,3 miliar. Dana besar itulah kini menjadi kendala merealisasikannya. 

Tanpa menyurutkan semangat, untuk mengurangi tingkat elevasi gambut mereka membuat canal blocking. Sebuah cara menaikan permukaan air dengan membuat bendungan di kanal-kanal. 

Pencegahan kebakaran pun dilakukan dalam rangka pengelolaan kawasan berkelanjutan. Selain membuat Perdes mereka membuat sistem peringatan dini dan membentuk kelompok MPA.

Ketua MPA Desa Harapan Jaya, Sulaiman Siregar menceritakan awalnya MPA dibentuk oleh PT Sumatera Riang Lestari, lalu diberi pelatihan satu hari.

“Tetapi tidak efektif, setelah pelatihan kami cuma diberi baju kaos tanpa diberi peralatan pemadam kebakaran. Kalau cuma kaos bisa buat apa?,” kata Siregar.  MPA tidak dapat menjalankan fungsinya.

Selanjutnya, Yayasan Mitra Insani menginisiasi pembinaan MPA yang sudah ada. Anggota semula 15 orang ditambah jadi 30. Mereka dilatih Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) selama tiga hari. Peralatan akhirnya didapat lewat SEApeat Project dan dana reses Ketua DPRD Inhu.

Saat ini MPA memiliki empat mesin air serta peralatan penunjang seperti GPS dan HT. Bahkan sekretariat juga sudah punya. Secara teknis tidak ada lagi kendala.

Setiap hari anggota MPA melakukan patroli di wilayah Desa secara bergilir. “Tidak ada honor. Kami cuma kerja. Tidak masalah, sebab inikan dari kita untuk kita juga,” kata Siregar.

Sudah ada skema pembiayaan oprasional MPA dengan membuat Demontration Plot (demplot)—metode penyuluhan pertanian dengan cara membuat lahan percontohan—nanas. Ada 4 ha yang sudah ditanam dan akan ditanam lagi 8 ha. 40 persen dari hasil tanaman nanas akan digunakan untuk keperluan MPA.

Bagi Siregar yang terpenting masyarakat mendapat manfaat dengan adanya MPA di Harapan Jaya.

Dia mengapresiasi kerja-kerja yang sudah dilakukan YMI. Menurutnya sejak kehadiran YMI bukan hanya munculnya kesadaran masyarakat soal bahaya membakar lahan tapi juga sudah memberi dampak atas peningkatan ekonomi.

Ia mencontohkan dengan adanya canal blocking, tidak sampai satu tahun daun sawit yang dulu kuning sudah mulai hijau. Produksi sawit naik sekitar 30 persen.

“Kami berharap YMI ada di sini sampai 2020,” harap Siregar.

SIANGNYA kami mengunjungi beberapa tempat. Rokhimin membonceng saya. Di perjalanan di dalam kebun Sawit terdapat papan informasi tingkat bahaya kebakaran lahan dan hutan. Inilah yang mereka sebut sistem peringatan dini.

Dibuat secara manual. Ada jarum penunjuk tingkat bahayanya berada di level apa. Rendah, sedang, tinggi atau berbahaya. Dengan warna biru, hijau, kuning dan merah. Peringatan itulah yang menentukan keadaan dalam kondisi aman, kurang aman, tidak aman atau berbahaya.

Caranya, data diperoleh dari BLH melalui pantauan satelit, lalu dituangkan ke papan informasi lewat jarum penunjuk.

Sepanjang jalan, hamparan sawit membentang. Program peningkatan ekonomi masyarakat dibuat salah satunya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat mengelola sawit yang membentang itu. Ada demplot sawit sebagai panduan bagaimana mengelola sawit di lahan gambut dalam skala kecil.

Kami lalu menuju kandang Sapi di belakang rumah Sardi. Peternakan Sapi itu merupakan program integrasi Sapi dan kelapa sawit untuk tingkatkan ekonomi yang diinisiasi melalui program SEApeat.

Sapi tidak diberi makan rumput melainkan pelepah sawit. Pelepah dicincang halus terlebih dulu pakai mesin. Lalu dicampur dedak. Sardi memaparkan setiap hari per ekor sapi membutuhkan lima pelepah sawit dan lima kilogram dedak. Seharusnya pakan ternak dicampur juga dengan solit—limbah sawit—dan ampas tahu. Namun, kedua bahan tersebut sulit didapat.

Dengan campuran pakan tersebut Sapi dapat tumbuh lebih cepat dibanding makan rumput. Per hari berat badan dapat bertambah lebih dari satu kilogram.

Kotoran Sapi lalu dimanfaatkan untuk pupuk sawit dan biogas. Mereka sudah punya satu lubang biogas dengan kapasitas 12 kubik. Uni Eropa membantu perangkat biogasnya. Hasilnya biogas dapat menghidupkan tiga kompor warga dan satu lampu kandang sapi.

Menurut Sardi kompor dihidupkan bisa saja lebih dari tiga namun, jarak rumahnya terlalu jauh dikhawatirkan biogas terbuang di medium penghubung.

Dengan biogas, Sardi mengaku sangat terbantu. Gas tiga kilogram dulunya ia beli setiap lima hari sekali sekarang cukup tiga minggu sekali. Kebutuhan gasnya sudah ditutupi dengan keberadan biogas.

Saat ini terdapat delapan ekor Sapi di kandang. Jika, sapi sudah berkembang biak nantinya akan digulirkan ke rumah warga lain, sehingga semua dapat menikmati program integrasi Sapi dan kelapa sawit tersebut.

“Keberhasilan pengembangan biogas membuat Konsulat Jendral Jepang melirik program ini,” kata Hisam.

Saat ini mereka sedang mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai salah satu cara peningkatan ekonomi. Partisipasi warga menjadi dasarnya. Akan dibuat unit usaha yang dikelola warga.

“Prinsipnya semakin banyak warga yang dilibatkan semakin sedikit tingkat apatis warga,” jelas Rasidi.

Penggalian potensi desa pun dilakukan untuk meningkatkan taraf ekonomi. Mereka berencana akan mengembangkan tanaman merica di pekarangan rumah. Menurut Rasidi secara history pernah ditanam merica di Harapan Jaya, hasilnya bagus. “Kami berpikir untuk menanamnya lagi. Lumayan bisa buat subsidi penghasilan sawit yang belum maksimal ini,” paparnya.

Siang itu, kami melanjutkan perjalanan menuju demplot nanas. Di tengah jalan ada kabar demplot nanas tak bisa dikunjungi. Jalannya tak bisa dimasuki. Perjalanan dialihkan menuju canal blocking.

Melewati jalan timbunan, memasuki kebun sawit. Jalannya kecil. Licin. Sebagian tampak berlumut. Satu hamparan berlumpur membuat kami terpeleset.

“Brakkk...,” kami jatuh.

“Sakitnya gak seberapa, kotornya itu loh,” saya bilang. Apa tidak, pakaian berlumpur semua.

“Beginilah jalan kami mas,” kata Rokhimin.

Menurut Rasidi pembangunan jalan memang bukan prioritas utama. Pertimbangannya kalau jalan bagus, masyarakat banyak jual tanah ke pendatang bermodal besar.

“Kalau itu terjadi, nanti banyak warga jadi buruh di kebunnya sendiri. Itu sebab jalan tak jadi prioritas. Kecuali nanti kalau sawit sudah maksimal,” katanya.

Setelah melihat canal bloking kami kembali ke balai pertemuan. Banyak warga gotong-royong mempersiapkan kehadiran Bupati Inhil. Kursi diangkut. Latihan pemadaman api dilaksanakan berkali-kali. Mereka ingin tampil tanpa cela di hadapan bupati.

MALAMNYA, hujan mengguyur. Di balai pertemuan warga masih ramai melakukan persiapan. Di belakang balai ada gedung MTS. Salah satu ruangannya digunakan untuk radio komunitas Selasih 107,7 FM.

Membentuk radio komunitas Selasih merupakan salah satu inisiatif yang dilakukan SEApeat project. Ini masuk dalam pelaksanaan peningkatan kapasitas masyarakat dengan penerapan teknologi informasi.

Semua peralatan disiapkan. Sampai pemancarnya pun disiapkan. Beberapa warga direkrut diberi pembinaan.

Tujuan dibuatnya radio komunitas ini sebagai media informasi pencegahan kebakaran. Bersama jalannya waktu program-program pun dibuat. Di sela program ditampilkan iklan layanan masyarakat berisi potensi gambut dan bahayanya.

Pengurus Radio Komunitas Selasih 107,7 FM, Ardian mengatakan radio dapat dijangkau di radius 30 Km. Pendengarnya cukup banyak. “Pernah tersambar petir terpaksa berhenti siaran. Eh, banyak yang nanya. Mereka nelpon, sms kok gak siaran lagi,” papar Ardian.

Selama beroprasi sudah dua kali tersambar petir. Pernah sampai berhenti siaran dua minggu. Tidak mau mengganti peralatan baru, akhirnya warga memperbaiki alat yang rusak.

“Alhamdullillah tidak ada kendala sampai sekarang,” tegas Ardian.

Pengurus radio sudah ada yang dikirim ke Tasik Malaya termasuk Ardian. Mereka study banding dengan radio komunitas yang ada di sana. Kedepan mereka ingin membuat streaming radio.

Selain memiliki radio desa ini juga sudah memiliki website resmi. Dapat diakses di alamat www.harapanjaya.desa.id. Warga diajarkan teknik dasar jurnalistik. Mereka disiapkan menjadi jurnalis warga. Siapa saja boleh nulis tentang apa saja di website.

Mereka cukup mengirim tulisan pakai SMS atau Facebook lalu diupdate dari Pekanbaru oleh anggota  YMI. Manfaatnya warga dapat mempromosikan desanya ke dunia luar.

Strategi itu ternyata berhasil. Lewat jaringan YMI website tersebut mampu menarik Kementrian Informasi Komunikasi menggelontorkan bantuan ke desa ini berupa Community Access Point (CAP). Sebuah alat penangkap jaringan internet. Komputer pun diberikan.

Sekarang warga desa sudah dapat akses internet.  Seperti yang terlihat malam itu beberapa pemuda sudah bisa mengunggah langsung tulisan ke website mereka.

Hingga larut malam warga masih ramai di balai pertemuan. Rintik hujan masih turun. Rasidi turun tangan langsung mengecek microfon. “Tes... tes... satu, dua... tes,”

Bagi Rasidi kedatangan bupati sangat penting artinya untuk perkembangan desa kedepan.

“Saya berharap besar. Grand design kawasan yang sudah ada itu mau diapakan? Harapan saya bupati dapat merealisasikannya,” kata Rasidi penuh harap.

SAAT BUPATI DATANG semua potensi desa dipertunjukan. Simulasi  pemadaman api oleh MPA digelar pertama. Sampai depan aula bupati disambut tarian. Di luar tiga perguruan silat sudah bersiap. Reog Ponorogo dan Kuda Lumping juga sudah siap. Di atas panggung ada seperangkat alat band.  Acara Sarasehan pun dimulai.

Rasidi dan Hisam bergantian menjelaskan pencapaian Desa Harapan Jaya. Kemajuan administrasi ditunjukan, tidak sampai lima menit pemerintah desa mampu melayani kebutuhan administrasi warga.

Tinggal memasukan Nomor Induk Penduduk, surat siap dicetak. Format surat termasuk tanggal tersetel otomatis.

Mereka sudah memiliki data base penduduk sangat lengkap. Mulai nama, golongan darah, usia, sampai titik kordinat rumah pun mereka ada.

Spontan Bupati Inhil H Muhammad Wardan kaget. Dia mengapresiasi pencapaian Desa Harapan Jaya. “Saya sangat bangga, jempol kanan buat kalian. Soal data base SKPD kabupaten saja  belum punya selengkap itu. Bila perlu kepala dinas nanti belajar ke Desa Harapan Jaya,” kata Wardan dalam sambutannya.

Menurutnya Desa Harapan Jaya sudah bisa dikatagorikan sebagai Desa mandiri. Pemkab Inhil melalui Program Desa Maju Inhil Jaya membagi kategori Desa menjadi empat. Desa Swadaya mendapat dana  Rp 350 juta, Desa Swakarya Rp 500 juta, Desa Swasembada Rp 750 juta dan Desa Mandiri Rp1,2 miliar.

“Lewat program ini Desa Harapan Jaya berhak atas dana Rp 1,2 miliar. Jika, tahun depan bisa pertahankan prestasi tentu akan terus mendapat Rp 1,2 miliar. Pemanfaatannya, silahkan dimusyawarahkan di desa,” kata Wardan memberi angin segar.

Bupati pun pulang sore itu dengan meninggalkan harapan kepada warga. Janjinya akan menggelontorkan Rp 1,2 miliar setiap tahun menjadi pintu gerbang untuk mencapai desa yang jaya.

Sampai pada titik ini, masih banyak warga yang meminta YMI mendampingi desa. Bahkan seorang warga meminta didampingi hingga 2020. Pada nyatanya program SEApeat project yang dilaksanakan YMI akan berakhir pertengahan tahun depan.

YMI  berkesimpulan bahwa untuk keberhasilan pengolahan kawasan gambut berkelanjutan, harus dilakukan secara komprehensif dan pendekatan berbasis partisipatif masyarakat harus ditingkatan.

Menurut Hisam, Pemerintah Kabupaten Inhil harus mendukung penuh menjadikan Desa Harapan Jaya menjadi laboratorium desa membangun di tingkat nasional maupun internasional.

"Oleh karena itu, aspek jalan, listrik, sumber air bersih dan pendidikan serta aspek ekonomi harus terus ditingkatkan,” tutup Hisam.