Selasa, 07 April 2015

Islam dan Jurnalisme

Kementrian Komunikasi dan Informatika resmi memblokir 19-22 situs Islam.  Pada kenyataannya tindakan tersebut menuai kecaman dari banyak pihak. Pemberantasan radikalisme sebagai pangkalnya dan pemblokiran situs web ujungnya.

Pernyataan Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemkominfo, Ismail Cawidu sangat mencengangkan. “Kominfo tidak meneliti apakah radikal atau tidak. Kami hanya meneruskan apa yang direkomendasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” demikian penjelasan Cawidu. Bagaimana mungkin memblokir situs tanpa verifikasi?

Kementrian terlalu berani melakukan pemblokiran tanpa mengetahui apakah situs-situs tersebut memang menyebarkan paham radikalisme. Arogansi Kemkominfo sangat jelas terlihat. Sebuah tindakan yang tidak bertanggungjawab telah terjadi.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla menegur tindakan ini, Ia meminta kriteria khusus untuk menyimpulkan konten yang mengandung radikalisme. Gunanya untuk mencegah pemblokiran tanpa analisis tepat. JK meminta mengkaji ulang rekomendasi  BNPT tersebut. Ditanggapi Mentri Kominfo, Rudi Antara dengan membentuk tim panel untuk mengkaji pemblokiran situs tersebut. Tim ini terdiri dari tiga tokoh senior, Bagir Manan, Salahuddin Wahid dan Din Syamsuddin.

Namun nampaknya tindakan Kemkominfo membentuk tim panel tidak mengurangi sedikit pun arogansinya. Buktinya hingga sekarang situs-situs yang diblokir tetap belum dapat diakses. Kenapa tidak menunggu hasil kajian tim panel dahulu selesai baru melakukan tindakan?

Kominfo bahkan menegaskan tidak tahu hingga kapan pemblokiran akan dilakukan. Semua tergantung lampu hijau dari BNPT. BNPT sangat superior.

Kalau kita tapak sejarahnya, BNPT terbentuk bermula dari kejadian bom Bali 2002 lalu. Awalnya dibentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Tugasnya membantu Menko Bidang Politik dan Keamanan merumuskan kebijakan bagi pemberantasan terorisme. Berdasarkan rekomdasi DPR akhirnya DKPT dirubah menjadi BNPT. Kewenangannya jauh lebih besar, BNPT berwenang secara operasional melaksanakan tugas pemberantasan terorisme.

Apa pun alasannya praktek pembungkaman terhadap pers sebenarnya sudah harus dihilangkan di bumi Indonesia sejak lahirnya UU Pers dengan alasan apa pun. Kita punya trauma sejarah cukup panjang terhadap praktek pembungkaman pers oleh penguasa. Di masa Orba dikenal istilah bredel. Perbuatan tersebut melanggar kebebasan pers seperti tertuang di pasal 4 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Pada akhirnya kita harus berpikir cara adil dalam pemberantasan terorisme di Indonesia. Perlu disadari, sejak George W. Bush mengobarkan kampanye “war on terror,” banyak umat Islam menjadi korban secara psikologi. Label kejam terhadap Islam tentu saja harus dihilangkan. Justifikasi lewat pemblokiran situs web secara sepihak akan menambah trauma pisikologi.

Saya berpikir ada dua solusi yang dapat dilakukan dalam kasus ini. Pertama, terkait tindakan pemerintah terhadap situs diduga penyebar paham radikalisme. Langkah pemblokiran tanpa proses hukum tidaklah tepat. Ada banyak perangkat regulasi lebih tinggi mulai dari UUD hingga UU Pers menjamin kemerdekaan pers. Kalau pemerintah melakukan pemblokiran hanya berdasarkan Permen Kominfo No. 19 tahun 2014 tentang penanganan situs internet bermuatan negatif, tentu dasar hukumnya sangat lemah. Apa lagi saat ini Permen itu sedang diuji di MK.

Cara paling adil kalau pemerintah hendak melakukan pemblokiran dengan alasan pencegahan radikalisme harus melalui proses peradilan. Pihak tergugat harus punya kesempatan melakukan klarifikasi bahkan pembelaan dan penggugat harus mampu membuktikan tuduhannya di persidangan. Jangan main vonis sepihak saja seperti sekarang.

Solusi kedua, terkait bagaimana harusnya penerapan jurnalisme oleh media Islam itu sendiri. Selain kritik terhadap arogansi pemerintah saya juga akan mengajak berpikir ulang tentang konsep jurnalisme yang diterapkan banyak media Islam di Indonesia. Mereka menyebutnya dengan Jurnalisme Islam. Jurnalisme seperti apa ini sebenarnya?

Dalam buku Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam (Rosdakarya, 2003) disebutkan ;”… Jurnalisme Islam sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam. Dapat juga dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai- nilai Islam,”

Secara tegas Andreas Harsono dalam bukunya A9ama Saya Jurnalisme, menyebut apa bedanya dengan propaganda?

“Kalau suatu jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain, entah itu fasisme, komunisme, kapitalisme atau agama apapun, definisi yang lebih tepat, saya kira, adalah propaganda,” jelas Andreas.
Propaganda adalah suatu peliputan, penulisan serta penyajian informasi dimana fakta-fakta itu disajikan, termasuk ditekan dan diperkuat pada bagian tertentu, agar selaras dengan kepentingan ideologi atau kekuasaan yang memanipulasi komunikasi tersebut.

Praktek begini tentu harus ditinggalkan. Pada akhirnya ketakutan menjadi nyata bahwa menyamakan antara dakwah atau propaganda dengan jurnalisme akan menimbulkan kebingungan serius dan daya rusak besar. Hal itu sudah dihadapan kita. Pengertian jurnalisme menjadi absurd ketika ia diboncengi dengan sebuah tendensi. Hasilnya akan melahirkan, bias agama, bias golongan dan sebagainya.

Hingga kini saya kira belum ada satu metode jurnalisme pun yang menandingi Sembilan Eleman Jurnalisme hasil riset mendalam Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.  Dalam bukunya disebutkan jurnalisme hanya menggunakan patokan kebenaran fungsional dalam prakteknya. Bukan pada kebenaran filosofi, sebab kalau kebenaran filosofi yang dipakai pasti akan terjadi debat tak berujung.

Islam punya kebenaran versinya sendiri, Kristen juga begitu lalu kebenaran mana yang akan dipakai? Bakalan rumit sekali kalau kebenaran agama dipakai sebagai metode jurnalisme.

Kebenaran fungsional mengharuskan jurnalisme dijalankan dengan disiplin pada metode jurnalisme, bukan pada metode dakwah atau propaganda. Pembeda jurnalisme dari apa pun adalah disiplin verifikasi.
Dalam kasus pemblokiran situs Islami walaupun ikut menentang pemblokiran, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai situs-situs Islam yang diblokir tidak memuat karya jurnalistik. Sebab materi yang dimuat tidak memenuhi kaidah jurnalistik.

“Itu kan saya lihat mereka mengutip Alquran misalnya. Tapi tidak ada cover both side. Itu tidak memenuhi unsur-unsur jurnalistik,” ujar Kepala Bidang Hubungan Eksternal AJI, Eko Maryadi.

Dari pernyataan ini mungkin saya harus katakan, berhentilah melabeli jurnalisme dengan embel-embel Islam. Sebab akan berakibat buruk pada jurnalisme maupun pada Islam itu sendiri.  Meminjam bahasa Andreas, apakah kalau seorang wartawan pakai label "jurnalisme Islami," maka otomatis tingkah-lakunya jadi beres, suci dan bebas dosa? Emangnya dia dijamin takkan terima amplop? Emangnya dia dijamin takkan masuk tim sukses para politisi?

Jadi, dengan kejadian ini media Islam harusnya dapat berbenah dalam penerapan metode jurnalismenya. Jurnalisme harus murni dari opini dan propaganda. Islam yes, Jurnalisme Islam no.***