Jumat, 10 April 2015

Melihat Potensi Ekowisata Riau

SAAT libur panjang banyak masyarakat Riau memilih berlibur ke luar provinsi, Sumbar misalnya. Seolah-olah di Riau benar-benar tidak ada objek wisata yang menarik. Selain udara dingin Riau punya ‘mutiara hitam’ yang masih terpendam. Ia berada di Hutan.

Hutan Riau sangat potensial sebagai kawasan ekowisata. Misalnya, kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling. Letaknya berada di dua kabupaten, Kampar dan Kuantan Singingi.

Di salah satu sisi Bukit Rimbang-Baling ada objek wisata air terjun bernama batu dinding, ke sanalah saya pergi Maret lalu. Menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Pekanbaru akhirnya sampai juga di desa Tanjung Belit—desa terdekat dari batu dinding—letaknya berada di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar.

Sebelum sampai desa ada jalan menukik tajam, kanan kirinya berdiri pohon beringin besar. Akarnya menjuntai seakan menyambut pendatang. Di sebelah kiri jalan menukik itu, tepat di bawah pohon beringin besar ada goa tertutup semak-semak. “Sayang ya, goanya gak diurus,” kata Wawan teman perjalanan saya.

Di desa pohon kelapa banyak tumbuh tak beraturan. Di mana tempat ada. Samping lapangan bola, belakang rumah, depan rumah, samping mesjid pohon kelapa tumbuh bebas. Beberapa kerbau tampak sibuk makan rumput di bawahnya.

Pemandangan begini tentu saja tidak ada di Kota Pekanbaru. Sore itu kami istirahat sejenak di rumah kepala desa. Lalu menuju ke lokasi berkemah di sebuah delta sungai Subayang. Dikelilingi bukit-bukit kawasan Bukit Rimbang-Baling membuat lokasi ini seperti  ada di lembah. Lembah yang dilapisi rumput hijau.

Lokasi perkemahan itu berada di kawasan lubuk larangan. Masyarakat punya komitmen untuk tidak mengambil ikan pada kurun waktu tertentu di lubuk larangan. Walau banyak ikannya, siapa pun tidak boleh mengambil dari lubuk larangan. Ada dua lubuk larangan di sepanjang sungai Subayang, satunya lagi berada tak jauh dari batu dinding.

Menurut kepercayaan mereka siapa yang berani melanggar akan menerima akibat buruk. Seperti perutnya membesar dan sebagainya. Terlepas dari kepercayaan berbau supranatural itu, poin pentingnya tentu saja komitmen bersama menjaga keseimbangan alam. Wajar saja di lubuk larangan menjadi lubuk ikan, sebab ia tidak diambil setiap hari. Kalau sudah masa memanen mereka bisa dapat berton-ton ikan. Pesta kecil pun digelar dengan makan bersama di tepi lubuk larangan. Orang luar boleh ikut gabung. Ini menjadi salah satu kearifan lokal dalam melestarikan alam. Barang kali di Riau hanya di sini yang masyarakatnya punya tradisi lubuk larangan.

Malam itu 11 orang dari kami nyaris tidak tidur. Menikmati cahaya bulan di tepi sungai tentu hal yang langkah di Pekanbaru. Apa lagi ditemani kerbau-kerbau sibuk makan rumput.

Paginya, kami menuju batu dinding dengan mengendarai perahu bermotor. Udaranya sangat segar. Air sungainya pun cukup jernih. Kanan kiri dipenuhi pepohonan. Ada satu dua batang  seukuran pelukan orang dewasa. Cukup terjaga hutannya  begitu kesan yang saya tangkap.

Perahu terus melaju membelah air sungai Subayang di ekor perahu tampak gelombang ombak menjauh dan menepi. Sesekali kami berayun saat berpapasan dengan perahu dari arah berlawanan. Gelombang dari perahu itulah penyebabnya.

Sekira 15 menit perjalanan sampailah sudah. Kami menepi di depan sebuah gamping berbentuk dinding. Inilah yang mereka sebut batu dinding. Tingginya mungkin sekitar  50 meter.

Untuk mencapai air terjun kita harus menyusuri bukit di belakang batu dinding tersebut. Ada jalan setapak mendaki dan menurun harus dilewati. Menyebrang sungai kecil. Melompati bebatuan, sesekali harus berpegangan pohon agar tidak terjatuh. Cukup menguras tenaga memang.

Perlu waktu sekitar 20 menit berjalan kaki dan akhirnya air terjun berada di depan mata. Air dari atas membanting bebas di tampung oleh hamparan kolam tempat pengunjung mandi-mandi. Airnya dingin. Dengan ragu-ragu kami nyemplung ke air. “Berrr… segar”

Terbayar sudah lelahnya perjalanan mendaki bukit. Ternyata makin siang pengunjungnya makin banyak. Ada tong sampah dari drum bekas yang sudah tak mampu menampung sampah dari pengunjung.

Objek wisata batu dinding ini dikelola oleh Kelompok Kerja (Pokja) Batu Dinding. Anggotanya masyarakat lokal sekitar kawasan. Mereka jugalah yang mengurusi sampah-sampah di sana.

Begitulah salah satu gambaran potensi ekowisata  yang dimiliki Riau. Kenapa tidak dikembangkan secara serius? Perlu menjadi catatan bersama bahwa batu dinding masih memerlukan sebuah sistem pengelolaan lebih baik. Kalau dirinci potensinya, ada goa, tempat berkemah, kearifan lokal lubuk larangan, hutan dan sungai, air terjun, air selancar dan keanekaragaman hayati. Sederet potensi tersebut tentu saja sangat besar untuk menjadikannya objek wisata primadona di Riau. Di dalam kawasan MS Bukit Rimbang-Baling sendiri ada 20 air terjun bahkan ada yang tingginya sampai 100 meter. Tidak terbantahkan ini sebuah potensi layak jual.

Selain di SM Bukit Rimbang-Baling, Riau masih punya potensi ekowisata lainnya. Sebut saja Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Hamparan hutan, pusat pelatihan gajah, jalur sungai, track pejalan kaki di dalam hutan, dan yang terbaru akan ada track bersepeda sepanjang tiga kilo meter.

Kalau saja semua potensi yang ada dikelola dengan baik pastilah pariwisata Riau akan sangat maju. Kuncinya ada di pengembangan ekowisata.

Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata berwawasan lingkungan. Secara umum pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Keterlibatan masyarakat lokal menjadi sebuah keharusan.

Konsep ini sebenarnya sudah diterapkan dengan cukup baik di TNTN. Ada sebuah kelompok bernama Kelompok Masyarakat Pecinta Pariwisata (Kempas) TNTN. Sama seperti Pokja Batu Dinding anggotanya juga masyarakat lokal. Di TNTN managemannya sudah lebih baik.

“Tahun lalu pengunjung dari luar negri cukup banyak. Begitu juga pengunjung domestik. Kalau diakumulasi jumlahnya mencapai ribuan,” kata Ketua Kempas, Tengku Marlin. Dia berharap, pemerintah punya inisiatif untuk mendukung kemajuan pariwisata di TNTN.

Marlin cerita, keberadaan ekowisata di TNTN member kontribusi langsung pada masyarakat sekitar. Misalnya lanjutnya, saat ini sudah ada lima kelompok tukang masak yang dibayar untuk melayani makan pengunjung. Lima kelompok tersebut dirotasi agar semua kebagian.

“Kita memang belum semaju seperti di Tangkahan, Sumatera Utara. Kalau mereka pengelolanya minimal perbulan sudah berpenghasilan Rp3 juta. Tapi, kalau terus di kembangkan bukan tidak mungkin kita bisa sama dengan mereka,” kata Marlin.

Saya menyimpulkan kalau ekowisata ini dikelola dengan serius secara nyata dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.  Imbasnya, ketika masyarakat mendapat keuntungan maka, akan muncul upaya untuk melindungi hutannya dengan lebih serius. Tentu saja itu akan sangat menguntungkan bagi gerakan pelestarian alam.

Saat ini hutan Riau mengalami kerusakan cukup berat. Penghujung tahun 2013 saja Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) merilis selama tahun 2012-2013, ada 252,172 hektar hutan alam dihancurkan. Menurut perhitungan waktu itu sisa hutan alam sekira 1,7 juta hektar atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau 8,9 juta hektar.

Kondisi ini tentu saja tidak dapat dibiarkan. Laju defortasi diperparah dengan kebakaran hutan sepanjang tahun dan kebutuhan industry Pulp and Paper. Secara kasat mata ada tata kelola kehutanan yang salah. Korupsi kehutanan salah satu buktinya. Sudah berapa kepala daerah yang terbukti bersalah. Mulai Azmun Jafar (mantan Bupati Pelalawan) hingga Rusli Zainal (mantan Gubernur Riau).

Keterlibatan kontrol sosial sangat dibutuhkan untuk melindungi tutupan hutan yang tersisa. Mendorong antusias masyarakatan terhadap ekowisata di sekitar hutan akan membuat munculnya perhatian publik terhadap hutan.

Saya pikir ekowisata solusi kongkrit bagi perkembangan pariwisata dan pelestarian alam di Riau.