Rabu, 11 Desember 2013

Bunga Bangsa di Tengah Srikandi Berbari


Bagaimana kisah pemberdayaan perempuan?  


MEDIO FEBRUARI panas menyengat pemukiman desa Sungai Berbari di kecamatan Pusako, Kabupaten Siak. Jam sudah menunjukan pukul 14.00. Rahmawati dan sembilan perempuan lainnya  menuju kebun. Mereka anggota kelompok Berbari Jaya—nama kelompok perempuan yang olah kebun itu. Cangkul dan parang ditenteng. Siang itu mereka hendak panen jahe. “Panas sih, tapi kalau pagi ibu-ibu sibuk. Makanya sepakat siang ini panennya,” kata Wati—sapaan akrabnya.

Rahmawati merupakan Bendahara Kelompok Perempuan Berbari Jaya. Sehari-hari ia guru di SD N 07 Sungai Berbari. Usianya tak muda lagi. “Saya sudah tiga puluh satu tahun sekarang, anak pun uda dua orang,” terangnya. Siang itu ia tetap bersemangat walau panas menyengat.

Kebun yang mereka garap seluas satu hektar. Letaknya tak jauh dari pemukiman warga.Tepat berada di tepi jalan utama. Setengah luas kebun itu ditanami jahe.

Jahe ditanam di atas bedengan—tanah yang digemburkan dan dibuat gundukan. Di bedengan itu ada dua jenis jahe; jahe merah dan jahe putih. Wati lihat daun di bagian bawah batang sudah menguning. Umbi jahe uda bisa di ambil. Usianya tanaman jahe mereka sekira 8 bulan sejak ditanam. “Kalau untuk dijual uda bisalah,kalau untuk bibit belum cukup umur. Harus sepuluh atau sebelas bulan baru bisa untuk bibit,” kata Wati.

Wati dan teman-temannya mulai galih tanah. Pelan-pelan agar jahe tak luka kena cangkul. Batang demi batang dicabut. Umbi jahe—pun dikeluarkan dari dalam tanah. Tak banyak yang mereka panen siang itu. Hanya 10 kilogram. “Sengaja, karena cuma mau lihat hasilnya,”

Wati lihat jahenya kecil-kecil. Sekira ukuran jempol.”Kayak jahe emprit,bukan jahe gajah” celetuk Wati . Padahal jahe yang mereka tanam jenis jahe gajah. Ukuran bibitnya relatif besar. “Lantaran pakai sistem pertanian organik makanya kecil-kecil hasilnya,” terang Wati. Walau begitu rasanya lebih enak dari jahe biasanya.

Mereka pakai pertanian organik berawal dari pelatihan dengan Martha Tilaar di Jakarta tentang tanaman Obat,Kosmetik dan Aroma Teraphy (OKA). Wati dan satu temannya mewakili kelompok Perempuan Berbari Jaya ikuti pelatihan itu. Mereka diajarkan bagaimana bertanam jahe secara organik. Mulai pengolahan yang harus pakai cara manual sampai cara membuat pupuk organik.  Usai pelatihan kelompok Berbari Jaya benar-benar terapkan sistem pertanian organik.

“Sengaja mereka kami ikutkan pelatihan agar termotivasi untuk bertanam organik. Tembakannya nanti kalau berhasil buat tanaman organik ada MoU dengan Marta Tilaar agar hasil pertanian mereka dibeli Marta Tilaar,” ujar Santi Koordinator Program Yayasan Bunga Bangsa (YBB)

TERBENTUKNYA KELOMPOK
perempuan Berbari Jaya tak terlepas dari peran Yayasan Bunga Bangsa (YBB). Lembaga ini konsen perjuangkan hak-hak perempuan.

YBB didirikan tanggal 20 Mei 2000 oleh enam perempuan yang memiliki komitmen sama.  Mereka prihatin atas ketidak adilan gender dalam bentuk diskriminasi, subordinate, marginalisasi dan kekerasan. Juga soal rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Baik dalam rumah tangga maupun lingkungan bernegara.

Sejak didirakan YBB jadi wadah bagi aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Mulai diskusi hingga advokasi sudah dilakukan.

Saat ini YBB tergabung jadi anggota Jaringan Kerja Penyelamat Lingkungan (Jikalahari). Melalui program TFCA, YBB lakukan penguatan masyarakat dengan mendampingi kelompok di Desa Sungai Berbari.

Sejak tahun 2010 YBB sudah aktif dampingi warga desa sungai Berbari. Tapi program TFCA baru masuk pada tahun 2011. Awalnya YBB lakukan pemetaan potensi desa. “Kita coba lihat apa yang mereka butuhkan. Kalau dibilang miskin ya gak juga. Mereka sudah maju. Tapi ketergantungan sangat tinggi terhadap suami dan hasil sawit. Perempuan di sini perlu ditingkatkan kapasitasnya,” kata Santi.

Banyak perempuan di desa Sungai Berbari berlatar belakang petani. Walaupun ada yang guru dan profesi lainnya. YBB putuskan buat kelompok perempuan bernama Berbari Jaya. Kelompok ini diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga dan mengurangi ketergantungan terhadap suami. Caranya dengan menanam tanaman sayur. “Minimal kebutuhan sayur sehari-hari dapat mereka penuhi. Tentu saja ini sangat membantu sumi,” terang Santi.

Usai kelompok terbentuk YBB cari lahan yang bisa digarap. “Ternyata sudah gak ada lagi lahan, semua uda milik perusahaan Hutan Tanaman Industri,” terang Santi.

Berharap perusahaan HTI mau pinjamkan lahannya,  YBB langsung menginisiasi buat surat peminjaman lahan. Mereka mengajukan peminjaman lahan seluas dua hektar. “Satu hektar untuk perempuan. Satu hektarnya lagi untuk para bapak-bapak lantaran ada usulan kepala desa untuk pinjam sekalian buat bapak-bapaknya,” terang Santi.

Lama dinanti jangankan dapat dua hektar satu hektarpun tak dapat. “Perusahaan tidak merespon permintaan kami,”  lanjutnya.

Tak mau lama menunggu, YBB coba cari tanah warga yang gak digarap. Akhirnya ada yang mau pinjamkan tanahnya satu hektar. Dengan cuma-cuma.  Agar ada kepastian hukum mereka buat perjanjian pinjam pakai.

Mereka mulai tanam sayur-sayuran. Ada labu, cabai, juga jahe. Untuk garap kebun ini mereka punya jadwal piket lima orang perhari.  Mulai bersihkan rumput sampai perawatan lain.

Perjuangan anggota kelompak garap kebun terbilang tak mudah. Tak ada air di kebun mereka. Parit di kebun hanya ada airnya saat hujan. Kalau ambil air dari pemukiman jaraknya terlalu jauh. Mereka bisa atasi masalah itu dengan manfaatkan tong penampung air di MDA yang tak lagi dipakai.

Dalam hal teknis YBB ajak kerjasama pihak penyuluh pertanian. Mereka yang mendampingi kelompok ini terapkan pertanian organik. Berkomitmen pakai sistem pertanian organik ternyata tak berjalan lancar sesuai harapan. Tanaman jahe mereka terserang hama. Batang dan daunnya menguning.

Walau penyuluh sarankan pakai pestisida untuk hilangkan hama, mereka tetap tak mau.
“kondisi ini sempat membuat anggota kelompok tak semangat tapi, tetap kita upayakan atasi dengan cara organik. Kita coba pakai daun sirsak yang difermentasi. Semoga saja berhasil,” papar Santi.

Sebelum tanaman jahe kelompok Berbari Jaya terserang hama, mereka sudah pernah panen labu. Hasilnya sangat bagus. “Ya bisalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Santi.

“Walaupun secara teknis pertanian kita ini gagal tapi, peningkatan kapasitas kita berhasil. Misalnya dari sebelumnya tak terlibat sekarang kalau ada rapat perempuan sudah mulai terlibat. Ikut memberi pendapat,” terang Santi. 

Perempuan yang didampingi YBB juga aktif pada kegiatan di luar kelompok. Seperti saat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) kecamatan Pusako—yang kebetulan penyelenggaraannya di desa Sungai Berbari—kelompok Berbari Jaya terlibat aktif. Mereka jadi panitia pelaksananya.

Pada kesempatan ini pula mereka sempatkan untuk buat stand mempromosikan hasil pertanian mereka. Ada jahe instan yang mereka jual. Jahe instan ini mereka sendiri yang membuatnya. Tentu saja sebelumnya mereka sudah dilatih terlebih dulu membuat olahan jahe.

Wati ceritakan cara membuat jahe instan terlebih dahulu jahe diparut, lalu dimasak. Setelah itu dikeringkan dan dicampur gula pasir. Proses selanjutnya jahe yang sudah kering tadi dibelender agar halus. Jahe instanpun sudah bisa dinikmati.  Bahkan Wati tak hanya saat momen MTQ sehari-hari dia juga memperoduksinya di rumah. “Lumayanlah dengan modal 40 ribu kita bisa dapat 100 ribu,” kata Wati. 

Pada tahun ke dua program TFCA, YBB juga buat kelompok Berbari Permai di desa Sungai Berbari—anggotanya juga perempuan semua. Kelompok Berbari Permai fokus garap Credit Union (CU).

CU merupakan Badan Usaha yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang bersepakat menabung uang untuk modal bersama, guna dipinjamkan diantara sesama mereka.  Dengan tujuan produktif peningkatan kesejahteraan. Sistem ini dikembangkan pertama kali pada tahun 1852 di Jerman—metodenya mirip dengan koperasi simpan pinjam.

“Bedanya CU lebih mengutamakan kepercayaan, mengedepankan prinsip kekeluargaan  dan pinjaman tak boleh untuk keperluan konsumtif,” jelas Santi.

Awal terbentuk YBB segera lakukan peningkatan kapasitas kelompok Berbari Permai. Training CU dan penguatan pengurus dilaksanan.

Bagi anggota CU ada nilai-nilai yang harus mereka junjung, antaranya; menolong diri sendiri, percaya diri, demokrasi, kesetaraan, keadilan, swadaya, pendidikan, solidaritas, dan pembangunan manusia.

Hingga kini anggota CU yang tergabung dalam kelompok Berbari Permai sudah 13 orang. Baru empat bulan berjalan mereka sudah kelola dana lebih dari 16 juta rupiah.

Setiap anggota wajib bayar Simpanan Pokok sebesar 30 ribu. “Ini cukup bayar sekali, sebagai simpanan pokok anggota,” jelas Santi.  Selain itu juga ada simpanan wajib 10 ribu perbulan. Dan simpanan sukarela—tabungan—minimal 5 ribu. Kalau anggota mau pinjam uang, dihitung dari simpanan sukarela. “Disepakati minimal harus tiga kali setor simpanan sukarela baru bisa pinjam,” 

Nominal peminjaman juga tergantung berapa besar sumbangan sukarelanya. Disepakati peminjaman maksimal tiga kali besar simpanan sukarela. Misalnya lanjut Santi, simpanan sukarelanya 100 ribu dibulan ke empat maksimal merek bisa pinjam 300 ribu.

Bunganya disepakati tiga persen menurun. “Bunga itu masuknya ke kas. Dalam SHU nanti dibagikan lagi,” jelas Santi.

Bagi YBB pendampingan Perempuan di Sungai Berbari bukanlah kali pertama. Sebelumnya YBB pernah dampingi masyarakat di Desa Perincit, Pelalawan dan Kuala Tolam—untuk tingkatkan kapasitas perempuannya.

“Di desa Sungai Berbari tantangannya tidak terlalu berat jika dibandingkan di Pelalawan. Karena memang sudah maju di sini,”  tegas Santi.

Bulan Maret 2013 program TFCA sudah berakhir di desa Sungai Berbari. Bagi Wati—
yang sudah rasakan manfaat program ini—walau belum sepenuhnya paling tidak 90 persen perempuan di desa Sungai Berbari sudah berpikir terbuka.

Misalnya lanjut Wati dulu ada pandangan hanya suami yang cari uang, sekarang sudah tak begitu lagi. Perempuan sudah mau manfaatkan pekarangan untuk tanam cabai atau sayuran.Tentu ini bisa bantu ekonomi keluarga.

“Harapan saya program TFCA mau nyambung lagi di sini. Bantu kami di sini.” Tutup Wati