Sabtu, 14 Desember 2013

Pers Terus Dilibas

Tulisan ini adalah reaksi atas maraknya kekerasa yang dialami jurnalis di akhir tahun 2012 lalu. Salah satunya korbannya, Didik Herwanto, wartawan foto harian Riau Pos saat meliput jatuhnya pesawat milik TNI AU. Tulisan ini telah diterbitkan di Riau Pos

ROSIHAN Anwar pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak mengenal tradisi kebebasan pers. Pernyataan ini disampaikan saat diskusi panel bertajuk “Refleksi Peranan dan Posisi Pers Nasional dalam 50 Tahun RI” yang ditaja PWI Pusat pada 1995. Rosihan Anwar merupakan  pemimpin redaksi Harian Pedoman. Ia sempat merasakan pembredelan dua kali, pada 1961 dan 1974.

Kalau kita simak peristiwa pemukulan jurnalis, pernyataan Rosihan ini semakin nyata kebenarannya.  Bagaimana tidak? Deretan cerita kekerasan dialami jurnalis terus bertambah panjang. Belum lagi tuntas kasus pemukulan wartawan saat liputan jatuhnya pesawat hawk 200 oleh oknum TNI AU Pekanbaru, ternyata pada Senin (22/10) Asri Satar seorang wartawan televise dipukul oknum polisi di Samarinda. Ia dipukul saat  meliput aksi demo mahasiswa. Akibatnya, wajah memar dan kameranya rusak. Dua kasus ini terjadi di bulan yang sama, yaitu Oktober. Hanya selang satu minggu.

Terlebih dahulu coba kita lihat fakta kekerasan yang dialami jurnalis di Riau yang belum lama ini terjadi. Dalam catatan ada sekitar 6 jurnalis yang dianiaya petugas di lokasi jatuhnya pesawat buatan British Aerospace, Inggris itu. Pesawat itu jatuh pada 16 Oktober lalu, di perumahan warga RT 04/02 Dusun Becah Rimbat, Desa Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Salah seorang wartawan yang dianiaya adalah Didik Herwanto wartawan foto Riau Pos.

Akibatnya Didik mengalami luka di bagian telinga hingga mengeluarkan darah. Kamera Didik pun dirampas paksa. Peristiwa ini sempat tertangkap kamera. Didik dijatuhkan, dipukul serta dicekik.  Bukti video peristiwa pemukulan yang terekam kamera tentu membuat oknum TNI AU Letkol Robert Simanjuntak mestinya tak bisa mengelak lagi setelah lakukan pemukulan.

Advokasi pun dilakukan berbagai organisasi jurnalis di Riau seperti PWI, AJI, IJTI, PJI, PFI dan Sowat. Tak ketinggalan LBH Pers di Jakarta. Mereka juga menyampaikan persoalan ini ke Dewan Pers, Komnas HAM, dan Komisi I DPR RI. Responnya positif memang kalau kita lihat. Komnas HAM langsung membentuk tim dan melakukan investigasi lebih lanjut. Saya pikir tidak perlu lagi ada investigasi. Bukti-bukti toh sudah cukup jelas. Tinggal bagaimana membuktikan tindak pidananya saja. Serta membuktikan pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Kalau masih harus menunggu investigasi akan memperlama proses hukumnya. Dewan Pers, Komnas HAM, Komisi I DPR harusnya segera mendorong agar pelaku diadili. Dan tentunya mengawal kasus ini hingga ada proses hukum yang berkekuatan tetap.

Sebenarnya saat itu yang jadi korban pemukulan bukan hanya wartawan, warga pun ada yang menjadi korban pemukulan. Bahkan mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) juga ada yang jadi korban. Ini sudah keluar dari pakem tugas TNI tentunya. Apapun alasannya kekerasan tidak dibenarkan oleh aturan manapun. Termasuk kekerasan terhadap jurnalis. Mau jadi seperti apa nasib pers Indonesia kalau kekerasan seperti itu dibiarkan?

Lalu, coba kembali kita refleksi kejadian yang terakhir di Samarinda. Oknum polisi jadi pelakunya. Dari dua kasus ini saya sempat terpikir mungkin dua institusi ini lagi ikut lomba, ya? Lomba “melibas” jurnalis. Tentu saja tak pernah ada lomba semacam itu, hanya di dunia hayal. Memang bukan kejahatan yang tersetruktur tapi keduanya adalah cermin dari apa yang dikatakan Rosihan Anwar,  “Indonesia tak punya tradisi kebebasan pers”. Kalau ini dibiarkan mari kita tunggu saja matinya kebebasan pers di Indonesia.

Pada 2003 lembaga Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) melakukan riset tentang pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Sumatera. Hasilnya, 21 persen kekerasan terhadap wartawan dilakukan polisi dan TNI. Sebuah angka yang cukup besar. Bahaya sekali kalau terus dibiarkan tanpa saksi tegas. Belum lagi soal warga yang harusnya jadi bulan-bulanan pelampiasan emosi mereka. Katakanlah oknum. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), beberapa kali sempat merilis bahwa TNI di rangking teratas  sebagai ‘’musuh’’ kebebasan pers.

Menyikapi pemukulan jurnalis di Riau, insan pers tak boleh tinggal diam. Kita lihat kecaman demi kecaman bergulir bak bola salju yang makin membesar. Solidaritas terbangun. Aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah, tak hanya di Riau. Wartawan Purwokerto, menggelar aksi keprihatinan di halaman Gedung RRI Purwokerto. Di Padang wartawan gelar aksi teaterikal di tugu perjuangan. Aksi solidaritas juga dilaksanakan di Jakarta, Medan, Bandung, Manado, Makasar, Ambon, Pontianak, Jombang, Takengon dan hamper seluruh kota. Semua mengutuk kekerasan terhadap wartawan,  ribuan wartawan turun ke jalan menuntut agar kasus ini di selesaikan bahkan meminta Letkol Robert Simanjuntak diberhentikan.

Fenomena aksi masa ini mengingatkan pada peristiwa di tahun 1994. Saat itu jurnalis menentang pembungkaman pers yang dilakukan pemerintah. Hanya beda modus saja yang jadi pemicu. Kalau sekarang persoalan adalah kekerasan terhadap wartawan, sedang dulu adalah pemberedelan oleh pemerintah. Kejadiannya usai pemberedelan tiga pecan berita, majalah Tempo, majalah Editor dan tabloid politik Detik, ribuan jurnalis turun ke jalan di sedikitnya 21 kota selama lebih dari satu tahun. Atmakusumah mencatat  ini adalah demontrasi terbesar dan terpanjang anti pemberedelan dalam sejarah pers di Indonesia. Ini adalah pergerakan bola salju melawan matinya kebebasan pers.