Rabu, 11 Desember 2013

Mati Pagi

Pada warsa yang tak tau kapan. Pada suatu ketika di sebuah pagi. Seperti pagi beribu depak massa lalu. Ada matahari, ada kicau burung dan sepoi angin. Mungkin diksi ini hanya pantas buat anak. Ya, anak kecil ingusan. Atau? Masih orok? Atau? Yang tak pernah sempat dilahirkan. "Ini soal pagi abang, semua orang mengalaminya. Anak kecil atau tua renta sama saja," sang istri meyakinkan.

Suami pun jadi sok yakin. Padahal sudah lama suami tak pernah yakin. Bahkan ia tak yakin pagi sudah tiba. Kali ini ia yakin, yakin atas kata hatinya. Kata hati begini, "Kau bapak, tapi lebih terhormat bapak binatang. Ia buas, tapi tak beringas,"

Apa pula ini. Pagi cerah tetiba mendung. Semua hangat digulung guruh. Hari, tepat 40 hari Warsi mati. Mati, kena lepuk tangan perkasa bapaknya sendiri. Ia masih bocah, baru tiga tahun. Belum nalar. Pagi itu ia nangis sejadi-jadinya, entah apa pasal. Mungkin lapar. Sedari malam cuma dikasih air bening dari tetesan ujan.

Bapak yang perkasa itu masih tidur. Terganggu. Dan melepuk Warsi. Tepat di jantungnya. Jerit tangis mendadak berganti dengan hembusan nafas. Panjang. Panjang sekali. Tapi, cuma sekali. Warsi mati. Terkelapar. Simpul senyumnya membalut kaku wajahnya. Ada memar yang tersisa. Ada darah yang membeku. Ada hujan yang menjemput. Ada bapak yang durjana. Ada emak yang tak tau anaknya mati. Ada tanah merah yang basah.

"Itu bedanya pagi ini istriku, tak semua orang mengalaminya. Aku mendadak jadi durjana. Aku patahkan batang toge yang kusemai dengan tanganku sendiri. Dan...," - sebilah pisau menghujam tepat dijantungnya.

Ada kata yang tak sempat rampung diucapkan, pagi itu.